Sadei Tendem

Disebuah desa hiduplah seorang pemuda yang memiliki kurap di sekujur tubuhnya. Penyakitnya itu membuatnya dijauhi orang-orang kecuali seorang nenek yang mau merawatnya. karena penyakitnya itu pemuda itu dipanggil dengan sebutan Bujang Kurap. Suatu malam, Bujang Kurap bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang berkata kepadanya “berjalanlah engkau menelusuri Sungai Ketahun hingga sampai pada sebuah desa yang sedang merayakan kejei dan bawalah tujuh buah lidi ini.”

Bujang Kurap lalu mengikuti perintah kakek dalam mimpi tersebut, ia lalu mulai berjalan menyusuri aliran Sungai Ketahun hingga tibalah ia pada sebuah pondok di pinggir sungai yang ditinggali oleh seorang nenek. nenek tersebut sangat baik karena mau memberikan tempat beristirahat. Bujang Kurap lalu bertanya kepada nenek “Nek, adakah didekat sini desa yang sedang menyelenggarakan kejai?” nenek lalu menjawab “ada di dekat sini, tetapi jangan lah kau datang ke sana karena warga desanya sangat sombong-sombong dan jahat.” mendengar itu Bujang Kurap tidak menyurutkan niatnya, setelah cukup beristirahat Bujang Kurap lalu mulai berjalan menuju desa yang dimaksud dan benar saja dari jauh ia melihat ada keramaian.

Bujang Kurap berjalan pelan ke arah kerumunan warga yang sedang menikmati kejei, namun ia tidak sengaja menabrak tubuh seorang pemuda hingga ia terjatuh dan tudung yang dikenakannya terlepas. Pemuda itu yang melihat rupa Bujang Kurap tidak menolongnya justru menghina dan mengejek fisiknya “Astaga alangkah buruk rupa manusia ini, sungguh jijik aku melihatnya. Dasar orang cacat berani-beraninya mengotori pakaianku.” Pemuda itu lalu menarik tubuh Bujang Kurap lalu mendorongnya ke tengah-tengah keramaian yang mengolok-oloknya.

Bujang Kurap lalu mengeluarkan tujuh batang lidi yang dibawanya, ia lalu menancapkan tujuh lidi tersebut ke tanah, “Jika memang kalian hebat, coba cabut satu saja lidi yang saya tancapkan ke tanah ini.” Warga dusun menertawakan dan meremehkan Bujang Kurap tetapi kemudian ketika seseorang mencoba mencabut lidi tersebut secara ajaib ia tidak mampu menariknya. Melihat air keluar dengan sangat deras warga dusun bersorak karena mereka tidak perlu jauh-jauh mengambil air di sungai lagi, ketika Bujang Kurap mencabut lidi yang kedua keluarlah pasir, warga desa masih lengah dan tidak menyadari. Akan tetapi ketika Bujang Kurap mencabut lidi ketiga, keempat, kelima, keenam, dan ketujuh mata air dan pasir tadi berubah menjadi lautan lumpur yang secara cepat merendam desa beserta seluruh warganya yang tidak sempat menyelamatkan diri.

Peneliti : Riqqah Dhiya Ramadhanty

Penutur : M. Baksir

Daerah Persebaran : Kabupaten Lebong

Anok Rajo ngen Anok Lumang

Cerita ini tidak diketahui terjadi di mana maupun berasal dari marga apa, cerita ini adalah tentang seorang Anok Lumang yaitu anak yatim piatu yang tinggal sebatang kara dan miskin bernama Bujang Kurung. Ia tinggal di suatu kutei yang cukup sepi dan dikuasai oleh seorang Rajo. Meskipun Bujang Kurung adalah anak yatim piatu dan miskin tetapi ia memiliki tubuh yang kuat dan wajah yang tampan sehingga Putri anak Rajo jatuh cinta kepadanya. Mereka berdua lalu menjalin hubungan secara diam-diam agar tidak diketahui oleh para penduduk kutei. Suatu ketika Si Putri di lamar oleh seseorang dari kalangan bangsawan, tetapi karena Si Putri sudah jatuh cinta kepada Bujang Kurung ia menolak lamaran itu dengan kabur dan bersembunyi di rumah Bujang Kurung. Hal ini tentu saja diketahui oleh Rajo dan masyarakat di sekitar rumah Bujang Kurung, mereka kemudia beramai-ramai mendatangi rumah Bujang Kurung. Ternyata di sana mereka menemukan Putri Rajo sedang bersembunyi. Melihat itu Rajo sangat marah dan memerintahkan pengawalnya untuk menangkan Bujang Kurung untuk dihukum.

Bujang Kurung kemudian dibawa ke istana Rajo, di sana ia diletakkan di tengah-tengah lapangan untuk diadili bersama-sama. Rajo lalu berkata kepada Bujang Kurung “Wahai Anok Lumang, kau sudah menghina aku dengan menyembunyikan anak gadisku di rumahmu. Oleh karena itu kau harus didenda, apabila kau tidak sanggup membayar denda maka kau akan dihukum mati.”

Bujang Kurung lalu berusaha memohon ampun kepada Rajo “Wahai Rajo, aku tidak sengaja   menyembunyikan Putri di rumahku. Tolong ampuni aku.” Meski Bujang Kurung sudah memohon tetapi Rajo tidak menghiraukannya karena ia memang ingin menyingkirkan Bujang Kurung, ia ingin anaknya menikah dengan bangsawan.  

“Kalau kau tidak mau mati, aku ingin kau memagari halaman istana ini dengan gading dalam waktu satu malam.” Pada masa itu gading gajah adalah suatu benda yang sangat berharga dan bernilai tinggi, para saudagar dan bangsawan yang mendengar permintaan Rajo kepada Bujung Kurung juga merasa  bahwa itu adalah permintaan  yang mustahil dikabulkan oleh orang miskin seperti Bujang Kurung.

“Baik akan saya laksanakan.” Jawab Bujang Kurung, meskipun ia juga ragu dapat memenuhi permintaan Rajo.

Setelah ia dilepaskan untuk sementara, Bujang Kurung lalu berusaha mencari gading gajah di hutan. Ia berjalan jauh sekali keluar masuk hutan dan keluar masuk  ladang hingga akhirnya ia menemukan Padang Gajah tempat para gajah tinggal. Sesampai di sana ia melihat sebuah pondok, Bujang Kurung kemudian mendekati pondok itu dan ia menemukan ada seorang anak gadis yang cantik sedang berdiam diri di sana. Gadis itu terkejut lalu berkata kepada Bujang Kurung “Berani sekali kau kesini wahai Anok Lumang! kalau rombongan gajah sudah kembali nanti kau akan mati diinjak-injak mereka!”

Bujang Kurung lalu menjawab “Aku harus mendapatkan gading, aku akan lebih baik mati diinjak gajah daripada mati dibunuh Rajo.”

“Baiklah kalau kuat tekadmu, kau bersembunyi dulu di dalam batang Pinang sampai mereka datang” Bujang Kurung lalu disembunyikan oleh gadis tersebut di dalam batang pinang. Tidak berapa lama rombongan gajah pulang dan ia menghampiri gadis tersebut.

“Sejak aku tiba di padang ini tadi aku sudah mencium adanya bau manusia selain kau,  tunjukkanlah pada kami manusia yang kau sembunyikan itu anak gadis!” Kata Si Gajah. Si Gadis kemudian berbohong dan mengatakan tidak ada manusia di sana tetapi Si Gajah terus memaksa akhirnya Si Gadis berkata jujur.

“Benar aku menyembunyikan seorang manusia karena dia sedang terdesak dan terancam hukuman mati.” Kata si Gadis.

 “Apa masalahnya sampai dia terancam hukuman mati wahai Gadis?” tanya Si Gajah.  Si Gadis lalu bercerita kejadian yang telah dialami Bujang Kurung sampai ia dihukum dan diancam oleh Rajo “Saya mohon bapak-bapak Gajah tidak meminta apapun kepada dia karena dia ke sini sangat terdesak dan mempertaruhkan nyawanya, jika tidak terdesak sudah tentu tidak mungkin dia akan datang ke sini.” Kata Si Gadis.

 “Baiklah kalau begitu kami bisa membantu Bujang Kurung dengan syarat dia harus sanggup bertanggung jawab menjaga engkau sebagai ganti kami yang telah membantunya lolos dari hukuman mati.” Jawab Gajah.

Si Gadis lalu menyampaikan persyaratan yang dikatakan oleh Si Gajah, Bujang Kurung lalu menyanggupi permintaan Si Gajah. Ia lalu pulang mengajak Si Gadis untuk tinggal di pondoknya. Malam itu juga para Gajah datang berbondong-bondong memagari halaman istana Rajo dengan gading dan selesai dalam waktu semalam.

Rajo sangat terkejut keesokan paginya karena melihat pekarangannya sudah dipagari oleh gading-gading yang sangat besar. Ia sedikit kesal karena tidak berhasil membunuh Bujang Kurung, tidak lama ada seseorang yang menyampaikan bahwa Bujang Kurung lagi-lagi membawa seorang perempuan tinggal di rumahnya. Kabar itu dijadikan senjata oleh Rajo untuk menjebak Bujang Kurung lagi, maka dipanggilnya Bujang Kurung “Aku dengar kau mengajak seorang gadis lagi tinggal di rumahmu, padahal kau baru saja diampuni karena kesalahan yang sama, apa kau benar-benar ingin mati hah?!”

Bujang Kurung lalu menjawab “Tentu saja saya ingin hidup Rajo, ada alasan kuat mengapa aku membawa anak gadis itu kerumah.”

“Kau harus dihukum sekali lagi, jika kau tidak bisa membuat sekeliling halamanku yang sudah dipagari gading ini berkilau seperti kilauan air lautan maka kau akan dihukum mati.” Kata Rajo.

Bujang Kurung kemudian tidak memiliki pilihan untuk menolak. Bujang Kurung kemudian kembali mengembara untuk mencari cara memenuhi permintaan Rajo. Dalam perjalanannya ia sampai di pinggir pantai dan bertemu dengan seekor  Rajo Ikan raksasa, ia kemudian menceritakan permasalahan yang ia alami.

Rajo Ikan kemudian mengajak Bujang Kurung naik ke punggungnya dan membawanya ke sebuah pantai. Di pantai itu sudah ada menunggu seorang anak gadis, ia lalu terkejut melihat Bujang Kurung. Rajo Ikan lalu berkata “Kalau kau mau pertolonganku maka syaratnya adalah bahwa kau harus membawa pulang gadis ini dan menjaganya di rumahmu.”

Bujang Kurung lalu menyanggupi permintaan Rajo Ikan tadi. Malam itu juga Rajo Ikan membuat kolam yang luas di pekarangan istana dengan air yang berkilauan seperti air lautan. Rajo semakin kesal setelah mengetahui ternyata Bujang Kurung berhasil lagi menyelesaikan tantangan darinya. Ia kemudian memikirkan cara untuk membunuh Bujang Kurung.

Tidak lama kemudian dia mendengar kabar bahwa Bujang Kurung telah membawa dua orang gadis sekaligus ke dalam rumahnya, Rajo kemudian kembali memanggil Bujang Kurung karena perbuatannya. Kali ini ia meminta Bujang Kurung untuk menggali sebuah sumur yang sangat dalam hingga dapat sampai ke surga. Bujang Kurung lalu memenuhi permintaan Rajo karena takut dibunuh.

Setelah ia selesai menggali kembalilah ia naik ke atas. Di atas Rajo menyuruh Bujang Kurung terjun ke dalam sumur dengan iming-iming bahwa ada surga di bawahnya. Tetapi Bujang Kurung tidak bisa dibodohi, ia lalu berkata “Mengapa tidak Rajo saja yang melompat duluan supaya dapat melihat surga lebih dahulu.” Rajo yang telah termakan kebohongannya sendiri lalu melompat ke dalam sumur, tidak berapa lama kemudian disusul oleh istrinya karena mengira bahwa Rajo benar-benar telah sampai di surga, kemudian disusul lagi oleh saudara-saudaranya hingga semua orang dalam pemerintahan yang zalim itu telah masuk ke dalam sumur. Akhirnya tersisalah Bujang Kurung seorang, tanpa dia sadari bahwa hewan-hewan yang ia temui telah menguji dirinya apakah ia layak menikah dengan Sang Putri yang menyamar menjadi dua orang gadis tadi. Bujang Kurung lalu menikahi Sang Putri dan memimpin kutei itu menggantikan Rajo yang zalim.

Peneliti : Riqqah Dhiya Ramadhanty

Penutur : Djuria

Daerah Persebaran : Kabupaten Rejang Lebong

Putri Serindang Bulan

Dulu ketika Tanah Rejang masih bernama Renah Sekalawi, Petulai Tubei dipimpin oleh seorang Rajo yang bijaksana bernama Rajo Mawang, ia mempunyai tujuh orang anak yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain, Ki Jenain, Ki Getting, Ki Karang Nio, dan Putri Serindang Bulan. Anaknya yang paling bungsu terkenal sebagai seorang putri yang cantik jelita, kecantikannya tersebar ke penjuru negeri hingga para pangeran maupun bangsawan silih berganti mendatangi Rajo Mawang untuk mempersunting anaknya. Akan tetapi Putri Serindang Bulan memiliki keanehan, apabila ada seorang laki-laki datang melamar dirinya maka tubuh dan wajahnya akan dipenuhi penyakit kudis dan kurap sehingga mengubah wajah putri itu menjadi buruk rupa. Para pangeran dan bangsawan yang datang dan melihat keadaan Putri Serindang Bulan dalam keadaan buruk itu pun pulang dengan hati kesal dan kecewa karena merasa tertipu oleh kabar kecantikan Putri Serindang Bulan. Anehnya apabila pertunangan itu dibatalkan dan laki-laki yang melamarnya telah pergi maka seketika Putri Serindang Bulan akan kembali sembuh dan cantik seperti sedia kala.

Ke enam kakak Putri Serindang Bulan kemudian berunding membicarakan permasalahan yang terjadi ini karena mereka mengganggap Putri Serindang Bulan sudah menjadi aib bagi Renah Sekalawi. Dari permusyawarahan tersebut didapatkan bahwa Putri Serindang Bulan harus dibunuh karena telah mempermalukan keluarga sembilan kali berturut-turut. Hanya Ki Karang Nio yang tidak setuju untuk membunuh adik bungsunya karena ia merasa kasihan dan menyayangi adiknya. Akan tetapi keenam saudaranya yang lain bersikeras untuk membunuh Putri Serindang Bulan sehingga Ki Karang Nio kalah suara. Ia lalu mengajukan diri untuk mengemban tugas membunuh Putri Serindang Bulan, keenam kakaknya lalu setuju untuk memberikan tugas itu kepada Ki Karang Nio dengan syarat ia harus membawa pulang satu tabung bambu darah Putri Serindang Bulan sebagai bukti  bahwa ia telah benar-benar membunuh Putri Serindang Bulan.

Keesokan paginya Putri Serindang Bulan di bawa ke hutan bersama Ki Karang Nio, ia

membawa sebuah bokoa ibeun tempat menyimpan sirih dan seekor ayam biring. Setelah mereka

berjalan agak jauh masuk ke dalam hutan Ki Karang Nio kemudian bersiap membunuh Putri

Serindang Bulan tetapi ternyata ia tidak tega, ia kemudian mencari akal untuk mengelabuhi kakak-kakaknya agar bisa menyelamatkan Putri Serindang Bulan. Ia lalu mengajak Putri Serindang Bulan mendekati aliran sungai dan mencari beberapa batang bambu yang kemudian ia potong-potong untuk dijadikan rakit. Dengan hati yang berat dan pilu ia lalu menghanyutkan adiknya di Air Ketahun dengan rakit bambu bersama sedikit bekal dalam boka ibeun dan seekor ayam biring.

Telinga Putri Serindang Bulan ia sayat sedikit sebagai pertanda bila suatu saat nanti bertemu lagi. Melihat Putri Serindang Bulan yang semakin lama semakin menjauh membuat Ki Karang Nio semakin sedih, ia lalu berdoa semoga adiknya diberi keselamatan dan dapat terus bertahan hidup. Di perjalanan pulang ia membunuh seekor anjing kumbang dan ia ambil darahnya untuk ditunjukkan sebagai bukti bahwa ia telah membunuh Putri Serindang Bulan.

Berkat Tuhan Yang Maha Kuasa, Putri Serindang Bulan yang dihanyutkan selama berhari-hari itu menepi dengan selamat di muara Air Ketahun yang dekat dengan suatu perkampungan bernama Pulau Pagai. Atas takdir Tuhan, ia ditemukan oleh Tuanku Setio Barat yang sedang berburu disekitar sana. Tuanku yang terkejut menemukan seorang gadis yang amat cantik di tengah hutan lalu bertanya mengapa gadis itu bisa berada di sana. Putri Serindang Bulan lalu menceritakan bagaimana ia bisa sampai dengan menaiki rakit selama berhari-hari. Tuanku yang merasa kasihan dan juga tertarik akan kecantikan Putri Serindang Bulan lalu membawanya ke Kerajaan Indrapura di mana ia menjadi raja kerajaan tersebut. Di sana ia menikahi Putri Serindang Bulan yang anehnya tidak kambuh penyakit kudisnya ketika dilamar oleh Tuanku Setio Barat.

Mereka lalu ingin mengadakan pesta jamuan pernikahan besar-besaran, Tuanku Setio Barat ingin mengundang keluarga istrinya di Renah Sekalawi sekaligus memohon restu. Ia lalu mengutus seseorang untuk menyampaikan berita tersebut ke Renah Sekalawi sambil membawa seekor ayam biring yang dulu dibawa oleh Putri Serindang Bulan. Keluarga Putri Serindang Bulan di Renah Sekalawi sangat terkejut mendengar berita tersebut, tetapi Ki Karang Nio akhirnya mengaku bahwa ia tidak jadi membunuh Putri Serindang Bulan setelah ia melihat ayam biring yang dibawa oleh utusan tersebut. Sayangnya Rajo Mawang telah tiada karena mendengar kisah pembunuhan putrinya dahulu.

Akhirnya keenam bersaudara itu berangkatlah menuju Indrapura, di sana mereka dijamu dan diberi uang jujur berupa seuncang emas untuk pernikahan Putri Serindang Bulan. Sayangnya dalam perjalanan pulang kapal yang mereka gunakan untuk berlayar terjebak badai hingga hancur berkeping-keping. Mereka lalu terdampar di sebuah tempat di antara Ipuh dan Ketahun, ketika sadar seluruh harta benda mereka telah hilang kecuali milik Ki Karang Nio yang masih utuh. Melihat itu kakak-kakaknya merasa iri dan merencanakan untuk membunuh Ki Karang Nio lalu membagi-bagikan hartanya sama rata. Mereka lalu mengendap-endap di malam hari untuk membunuh Ki Karang Nio yang sedang tertidur. Akan tetapi Ki Karang Nio lalu terbangun dan melihat situasinya, ia tidak marah dan membenci kakak-kakaknya ia justru memberikan seluruh hartanya kepada kakak-kakaknya agar tidak kembali berselisih. Melihat sikap Karang Nio yang begitu bijaksana membuat kelima kakaknya merasa malu dan memutuskan untuk memisahkan diri meninggalkan Renah Sekalawi, mereka lalu menyerahkan tahta kepada Ki Karang Nio lalu berpisah untuk membuat petulai-petulai yang baru di luar Petulai Tubei, mereka berucap “uyo ote sao keme migai belek” yang artinya sekarang kita bercerai dan tidak akan kembali lagi. Mereka lalu berpencar dan mendirikan kutei-kutei yang baru, petulainya tidak lagi bernama Petulai Tubei melainkan Petulai Migai sebagai pengingat bagi anak keturunan mereka kelak. Petulai Migai ini lama kelamaan disebut dalam bahasa melayu menjadi Petulai Merigi. Begitulah asal mula ceritanya.

Peneliti : Riqqah Dhiya Ramadhanty

Penutur : M. Baksir

Daerah Persebaran : Kabupaten Lebong dan Kabupaten Rejang Lebong

Benuang Sakti

Dulu pada masa para Biku, yaitu Biku Bembo, Biku Bejenggo, Biku Sepanjang Jiwo, dan Biku Bermano terjadi musibah yang hebat. Rakyat banyak yang jatuh sakit dan meninggal, kemarau berkepanjangan dan tumbuh-tumbuhan banyak yang mati. Segala usaha sudah dilakukan untuk menghentikan bencana itu tetapi tidak berhasil. Maka dimintalah seorang dukun untuk melihat kejadian itu. Menurut penerawangan dukun, yang menyebabkan terjadinya bencana itu adalah seekor Beruk Putih yang berdiam  di atas sebuah pohon yang besar bernama Benuang Sakti. Apabila Beruk itu bersuara ke mana mulutnya menghadap maka negeri-negeri yang dihadapinya akan mengalami bencana seperti yang mereka alami pada saat itu. Atas mufakat empat petulai sukubangsa Rejang maka batang Benuang Sakti tempat Beruk Putih itu tinggal harus dicari sampai dapat dan ditebang.

Mereka kemudian berpencar mencari Benuang Sakti, sebagian k earah utara, sebagian lagi ke selatan dan seterusnya. Pada akhirnya anak buah Biku Bermano berhasil menemukan Benuang Sakti tersebut. Mereka lalu berusaha menebang batangnya, tetapi anehnya semakin mereka menebas parang, pohon itu akan semakin bertambah besar. Saat itu juga datanglah rombongan Biku Sepanjang Jiwo ke tempat tersebut sambil berkata “Bie pu-ies keme beu-ubeui mesoa, uyo mako betemau” yang artinya “Aduhai, telah puas kami berduyun-duyun mencari, sekaranglah baru menemukannya.”

Maka ditambah dengan bantuan dari rombongan Biku Sepanjang Jiwo mereka bersama-sama kembali mencoba menebang Benuang Sakti tersebut tetapi tidak juga berhasil, bahkan pohon itu semakin lama semakin membesar. Kemudian, tibalah rombongan Biku Bejenggo yang segera turut membantu merebahkan Benuang Sakti tetapi juga tidak mendapatkan hasil. Maka salah seorang anak buah Biku Bermano berkata. “Kita sudah bekerja keras bersama-sama menebang pohon ini tetapi tidak juga mendapat hasil, mungkin karena rombongan Biku Bembo belum sampai.”

Tidak berapa lama setelah kata-kata itu terucap, tibalah rombongan Biku Bembo yang sangat kegirangan karena telah menemukan Benuang Sakti serta melihat seluruh saudara-saudaranya telah berkumpul juga di sana hingga mereka berkata “Pio bah kumu telebong!” yang artinya “Di sini kiranya saudara-saudara berkumpul!” peristiwa inilah yang menjadi asal mula nama Lebong sebagai daerah tempat mereka berkumpul.

Kepada Biku Bembo dan rombongannya diceritakanlah kesulitan mereka dalam menebang Benuang Sakti, maka mereka sepakat untuk bertarak (bertapa) untuk mencari petunjuk cara menebang pohon besar itu supaya roboh. Setelah selesai bertarak maka didapatlah petunjuk bahwa pohon itu akan roboh bila di bawahnya digalang oleh tujuh orang gadis muda yang masih belia. Oleh karena itu, rombongan Biku Bembo yang baru saja tiba dan belum sempat bekerja ditugaskan mencari tujuh orang gadis remaja yang akan dijadikan sebagai penggalang. Setelah ketujuh gadis itu didapatkan, mereka bermusyawarah kembali untuk memikirkan cara supaya ketujuh gadis itu tidak mati tertimpa pohon yang roboh. dalam musyawarah didapatkan hasil bahwa mereka akan menggali parit yang besar untuk melindungi gadis-gadis penggalang itu.

Pekerjaan menggali parit dilakukan secara bersama-sama dan dibagi-bagi pekerjaannya, ada yang bertugas menggali parit, ada yang bertugas membuat penggalang, ada yang bertugas membuat penutup parit, dan ada yang bertugas menyediakan makanan untuk para pekerja. Setelah seluruh pekerjaan itu selesai dan ketujuh orang gadis telah ditempatkan di dalam parit maka mereka mulai menebang Benuang Sakti tersebut, pohon itu kemudian seketika roboh dan tepat menimpa posisi di mana gadis-gadis itu berlindung sehingga mereka selamat dari maut. Beruk Putih yang menunggu Benuang Sakti pun seketika menghilang bersamaan dengan robohnya pohon besar tersebut. Berdasarkan peristiwa tersebut maka para biku memberikan nama petulainya masing-masing sesuai dengan pekerjaan yang mereka lakukan ketika bersama-sama menebang Benuang Sakti. Petulai Biku Sepanjang Jiwo dinamakan Petulai Tubei berasal dari kata berubei-ubei yang berarti berduyun-duyun. Petulai Biku Bermano diberi nama Petulai Bermani yang berasal dari kata Beram Manis yang berarti tapai manis. Petulai Biku Bembo diberi nama Petulai Jurukalang yang berasal dari kata kalang berarti galang. Kemudian Petulai Biku Bejenggo diberi namaPetulai Selupuei berasal dari kata berupeui-upeui yang berarti bertumpuk-tumpuk. Sehingga sejak saat itu daerah tersebut dinamakan Lebong dengan Empat Petulai yang menjadi intisari sukubangsa Rejang.