Arsip Kategori: Artikel

Refleksi Internal dan Pemanfaatan Krida Bahasa dalam Upaya Internasionalisasi Bahasa Indonesia

Refleksi Internal dan Pemanfaatan Krida Bahasa dalam Upaya Internasionalisasi Bahasa Indonesia

Oleh Faishal Digdoyo Prasojo dan Sherly Eki Winanda

Secara sepintas, wacana terkait internasionalisasi bahasa Indonesia terdengar cukup muluk. Meski
demikian, bukan berarti misi besar ini mustahil untuk dicapai. Alih-alih bersikap pasrah, ada
banyak hal kecil yang dapat dilakukan dalam menyukseskan upaya pemasyarakatan bahasa
Indonesia.
Upaya penggunaan bahasa Indonesia secara global ibarat sebuah acara pesta megah dengan
mengundang tamu-tamu penting. Sudah sepantasnya, sebelum menghidangkan sesuatu di meja
makan, telah dipastikan bahwa hidangan itu terjamin mutu kandungannya. Dengan menggunakan
logika serupa, sudah sepatutnya para penutur bahasa Indonesia membuktikan kualitas bahasa
Indonesia dengan mengutamakannya dalam berbagai kesempatan yang memungkinkan. Di atas
meja hidangan linguistik, para tamu harus menyantap bahasa Indonesia dalam versi terbaiknya.
Ditinjau dari sisi data, peluang internasionalisasi bahasa Indonesia tergolong cerah.


Menurut data dari Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, hingga akhir 2020 terdapat 335
lembaga penyelenggara Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di 41 negara dengan total
lebih dari 72.000 pemelajar. Bahasa Indonesia juga telah menjadi bahasa yang diprioritaskan di
Vietnam sehingga posisinya sejajar dengan bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Selain itu, bahasa
Indonesia menjadi bahasa terpopuler keempat di Australia. Sejauh ini, sudah ada enam bahasa
resmi di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, menargetkan pada tahun 2045 bahasa Indonesia menjadi
bahasa resmi PBB. Meskipun data-data tersebut dapat diinterpretasikan sebagai tanda bahwa posisi
bahasa Indonesia cukup mapan, ada beberapa langkah esensial yang perlu diambil sebagai usaha
mengukuhkannya menjadi bahasa internasional.
Oleh semua orang, pemartabatan bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan (1)
menggunakannya secara baik dan benar, (2) mencari dan mengusulkan padanan kata sebagai
respons pembaruan terhadap fenomena maraknya penggunaan bahasa asing secara berlebihan,
baik padanan dari bahasa daerah maupun asing yang telah diadaptasi, serta (3) mengawal
penggunaannya sebagai bahasa sah negara. Di sisi lain, duta bahasa, dengan kapasitas dan
kesempatan yang dimiliki, sudah seyogianya berperan secara lebih konkret dan progresif di tengah
ruang pesta ini, salah satunya melalui krida bahasa.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, krida adalah kata kerja yang berarti perbuatan
atau tindakan. Dalam konteks ini, krida bahasa merupakan suatu tindakan yang berkaitan dengan
bahasa. Dewasa ini, banyak sekali tantangan kebahasaan yang hadir seperti ancaman lunturnya
perkembangan bahasa Indonesia yang merupakan alat pemersatu bangsa dan berkurangnya
penutur bahasa daerah yang jika dibiarkan terjadi akan menyebabkan punahnya aset bangsa. Sudah
menjadi tugas duta bahasa untuk menyusun strategi agar mengawal pengutamaan bahasa Indonesia
dan revitalisasi bahasa daerah sebagai wujud nyata pembinaan dan pengembangan bahasa.
Dalam hal penyusunan strategi pengawalan pengutamaan bahasa Indonesia dan revitalisasi
bahasa daerah, Duta Bahasa Provinsi Bengkulu tahun 2022 menginisiasi tiga krida bahasa yang
menggunakan pendekatan humanis dan teknologi. Krida bahasa tersebut yaitu (1) Pelita Asa Karsa
(Pembelajaran Literasi Kebahasaan dengan Karya Sastra) dan Pensi (Pendidikan Literasi), yang
merupakan kegiatan edukasi pemahaman mengenai kebahasaan kepada warga binaan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bengkulu dengan rentang usia 17—21 tahun, (2)
Labirin Bahasa, yang merupakan suatu permainan yang memuat pengetahuan mengenai bahasa
dan budaya yang ada di beberapa daerah di Provinsi Bengkulu seperti Rejang, Kota Bengkulu, dan
Seluma, serta (3) Buku Tobo Kito, yang merupakan buku cerita bergambar yang berisi edukasi
mengenai kearifan lokal Provinsi Bengkulu yang disajikan lengkap dengan material audio dan
visual yang diintegrasikan dengan aplikasi Metaverse sebagai jawaban atas tantangan
perkembangan zaman terkait penyediaan media literasi digital. Sebagai jalan peningkatan minat
literasi anak dan revitalisasi bahasa daerah—yang misi akhirnya bermuara pada pernyataan
eksistensi bahasa Indonesia dalam lanskap internasional, Buku Tobo Kito merupakan program
unggulan Duta Bahasa Provinsi Bengkulu tahun 2022.
Dalam bahasa Bengkulu, Buku Tobo Kito berarti buku kita semua. Buku ini merupakan
buku cerita bergambar untuk anak dengan latar kearifan lokal Bengkulu dan terintegrasi dengan
aplikasi Metaverse. Integrasi ini memungkinkan anak-anak berinteraksi dengan tokoh di dalam
buku, yakni Burniat, melalui bentuk audio dan visual. Melalui aplikasi Metaverse, para pembaca
Buku Tobo Kito dapat menikmati sensasi mendengarkan pembacaan cerita dalam bahasa
Bengkulu.


Di masa mendatang, sangat mungkin penerbitan Buku Tobo Kito terus berlanjut melalui
upaya (1) eksplorasi tokoh dan latar tempat, (2) penambahan jenis terjemahan bahasa daerah, dan
(3) pelibatan masyarakat umum dalam proses penyusunan cerita dan ilustrasi melalui kegiatan
lokakarya dan sayembara. Secara lebih luas, Buku Tobo Kito juga dapat disusun dan diterbitkan
dengan mengusung budaya-budaya di berbagai daerah di Indonesia secara kontekstual. Hal ini
sejalan dengan misi pengayaan bahan literasi untuk anak-anak, khususnya yang memuat unsur
kearifan lokal. Dengan demikian, yang dihidangkan di meja pesta kebahasaan tidak hanya bahasa
yang berasal dari Bengkulu, tetapi juga dari seluruh daerah di Indonesia.
Implementasi penggunaan Buku Tobo Kito telah dilaksanakan di berbagai lokasi yaitu
Autis Center Bengkulu, Panti Asuhan Bintang Terampil, Taman Pendidikan Rumah Akhlak,
Taman Pendidikan TPA Sebakul, dan SD Negeri 69 Kota Bengkulu. Dalam proses
implementasinya, Buku Tobo Kito berhasil menarik minat para peserta dengan cara yang beragam.
Di Autis Center Bengkulu, misalnya, anak-anak sangat antusias menikmati Buku Tobo Kito
melalui gawai. Sementara itu, anak-anak di Panti Asuhan Bintang Terampil lebih tertarik ketika
diajak berdiskusi dan menerjemahkan isi buku ke dalam bahasa daerah masing-masing.
Dengan menginisiasi krida bahasa Buku Tobo Kito, yang membantu merevitalisasi bahasa
daerah, Duta Bahasa Provinsi Bengkulu telah melakukan pembinaan terhadap bahasa. Langkah
selanjutnya, diharapkan duta bahasa dapat menjajaki langkah konkret dalam upaya pengembangan
bahasa, yaitu berpartisipasi dalam usaha internasionalisasi bahasa Indonesia. Bagaimanapun cara
mengonsumsinya, misi terpenting program sosialisasi ini adalah memastikan bahwa gizi dalam
Buku Tobo Kito dicerna dengan baik sehingga tujuan untuk menemukan minat literasi anak dan
menjaga bahasa daerah dapat tercapai. Ini merupakan salah satu cara dalam membuat bahasa
Indonesia menjadi hidangan menggiurkan yang akan dikonsumsi secara sukarela oleh para tamu
pesta.

Kamus Dwibahasa Bahasa Bengkulu Dialek Serawai – Indonesia

Kamus Bahasa Bengkulu Dialek Serawai

Penanggung Jawab : Kepala Kantor Bahasa Provinsi Bengkulu
Tim Penyusun : Azmi Ridwan Fauzi, Yanti Riswara, Resy Novalia
Pengolah Data : M. Yusuf, Olga Chaesa Novianti, Ferdiana Angraini
Desain Sampul : Zainal Arifin Nugraha

Penyumbang Data:
Armanuddin Durhan, Saleha, Eldi Susanto, Emron, Sahin, Johlan Sahlin, Mirhan, Zairin Mulyadi, Anwar, Madali Syakban, Rusman Mahidi, Supardi, Gunadi Mulkan, Arsik Bakarmin, Saiful, Lasminuddin, Syafaridi Supli, Reskan Keram, Hj. Desmawarti, Maya Pransiska, Indah Kurniati, Yesi Emarni, Nita Sugiarti, Zalna Fitri, Desti Susila Rani, Rudi Azhari. Rima Ropita, Veka Susanti, Rahma Desti, Fenni Oktafianni, Emani, Leona Rezha, Wanti Renita, Herlansyah, Neto Kusboyo, Ovet Novita Sari, Efriyanti, Ramlan, Meco Chandra, Enda Elka Sari, Ira Hastuti, Ratemin Suhadi, Ario Satria, Naliasti, Desi Budiarti, Pipin Sri Rahayu, Widiya Yupita Sari, Rio Agustian, Asrianto, Fajrul Tantomi, Rezan Okto Wesa, Suswadi Ali K.

Cetakan Pertama: September 2022
Diterbitkan oleh:
Kantor Bahasa Provinsi Bengkulu
Jalan Zainul Arifin Nomor 2, Singaran Pati, Bengkulu, 38225
Telepon (0736) 344078 Faksimile (0736) 344078
Pos-el kantorbahasabengkulu@kemdikbud.go.id

Pemakaian Kata Masing-Masing dan Tiap-Tiap

oleh Poetri Mardiana Sasti*

Kita lebih sering mendengar frasa masing-masing orang daripada tiap-tiap orang. Apakah kata masing-masing dan tiap-tiap bisa saling menggantikan satu sama lain? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV, kata masing-masing merupakan pronomina, yaitu kata ganti orang atau benda. Oleh karena itu, kata masing-masing tidak perlu diikuti kata benda lagi. Sedangkan, kata tiap-tiap di dalam KBBI Edisi IV merupakan adjektiva, yaitu kata yang menerangkan nomina atau kata benda. Oleh karena itu, kata tiap-tiap harus diikuti kata benda.

Berikut ini perbedaan kata masing-masing dan tiap-tiap.  

         masing-masing          tiap-tiap
         pronominal          adjektiva
         tidak boleh diikuti kata benda          harus diikuti kata benda
         berkonotasi dengan kata ganti atau berkaitan dengan orang          berkonotasi dengan bilangan
         merupakan kata ganti          merupakan kata keterangan/ sifat
           dapat diganti dengan kata setiap atau tiap

Agar lebih jelas, mari kita cermati beberapa contoh kalimat berikut.

Ayah membeli sepuluh butir permen untuk kedua anaknya.

1.       Masing-masing anak mendapatkan lima butir permen.

2.       Tiap-tiap mendapatkan lima butir permen.

         Contoh kalimat nomor 1 dan 2 tersebut merupakan contoh kalimat yang tidak berterima. Pada kalimat 1 kata anak tidak perlu mengikuti kata masingmasing. Hal itu karena kata anak sudah terwakili dengan kata masing-masing sehingga tidak perlu dituliskan lagi. Sebaliknya, pada contoh kalimat nomor 2 kata tiap-tiap tidak diikuti dengan kata benda yang dijelaskan sehingga kalimat menjadi janggal. Oleh karena itu, pada contoh kalimat nomor 2 kata tiap-tiap harus diikuti kata benda yaitu anak, sehingga kata tiap-tiap menerangkan kata anak. Dengan demikian, kalimat nomor 1 dan 2 dapat berterima bila diubah menjadi kalimat berikut.

Ayah membeli sepuluh butir permen untuk kedua anaknya.

1.     Masing-masing mendapatkan lima butir permen.

2.     Tiap-tiap anak mendapatkan lima butir permen.

         Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kata masing-masing dan kata tiap-tiap merupakan dua kata yang berbeda. Keduanya tidak bisa saling menggantikan karena kedua kata tersebut memiliki fungsi yang berbeda.

 

*Staf Balai Bahasa Jawa Tengah

======

Sumber:

Lembar Informasi Kebahasaan dan Kesastraan Edisi 1, JanuariFebruari 2013

Tautan artikel asli: http://www.balaibahasajateng.web.id/index.php/read/home/infobahasa_detail/59/Pemakaian-Kata-Masing-masing-dan-Tiap-tiap

Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat “Lahmudin dan Putri Hayatunnukus”

 

Oleh: Titih Nursugiharti, S.Pd.*

Globalisasi  mulai berkembang tahun 1990-an  ditandai dengan pemanfaatan sistem teknologi dan informasi mutakhir. Globalisasi adalah bersatunya kehidupan manusia di seluruh dunia  sebagai akibat kemajuan teknologi, sehingga seolah-olah tidak ada hambatan ruang dan waktu (Nyoman Kuta:2014:45). Globalisasi terjadi melalui sistem jaringan  informasi dan komunikasi, tidak ada batas territorial, negara, bangsa suku dan sebagainya. Bangsa-bangsa di dunia seolah-olah menjadi satu. Secara metaforis, dunia dalam genggaman tangan, dunia yang dilipat, desa global dan sebagainya. Keberhasilan manusia masuk ke dalam sistem jaringan informasi dan komunikasi, sehingga dunia kehidupan seolah-olah dapat direkayasa sesuai dengan kemauan sendiri, bukan kehendak secara alamiah, tidak dengan sendirinya memberikan kepuasan secara total.

Globalisasi telah membawa banyak kemajuan  terutama di bidang pendidikan di antaranya  bangkitnya nasionalisme, tumbuhnya minat untuk menuntut ilmu. Hal ini terbukti awal abad ke-20  bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bebas buta aksara, sehingga informasi dapat dinikmati ke seluruh pelosok tanah air.

Masalah yang perlu diperhatikan adalah sikap dan penerimaan masyarakat agar tidak menganggap bahwa globalisasi dan teknologi modern dengan berbagai bentuknya sebagai sesuatu yang  dimanfaatkan tanpa mempertimbangkan  dampak  buruknya. Oleh karena itu, kesadaran dan kewaspadaan masyarakat diperlukan agar dapat memanfaatkan nilai-nilai  positif dari globalisasi . Sebaliknya,  berbagai dampak buruk  globalisasi yang merugikan dapat dihindarkan.

Salah satu cara  untuk menjawab  permasalahn tersebut di atas, yaitu dengan melaksanakan  Undang-Undang Pendidikan Nasional, Nomor  20, Tahun 2003,  pasal 1 yang  menyebutkan,    bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan  potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

 Pendidikan bertujuan membentuk individu yang sehat fisik, tangguh mental, terampil hidup,   dan berkarakter,  baik dalam hidup bersama dengan sesama maupun dalam memanfaatkan lingkungan alamnya.  Pendidikan merupaan  sarana utama bagi pengembangan kebudayaan. Melalui  pendidikan,  manusia menjadi lebih pandai dan lebih cerdas dari makhluk hidup yang lain sehingga menghasilkan berbagai bentuk hasil karya, sebagai wujud peradabannya.

Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010–2025 (2010) dinyatakan bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang dilanda berbagai masalah, yaitu: (1) terjadi disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, (2) terbatasnya perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, (3) bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai budaya bangsa, (5) terancam disintegrasi bangsa, dan (6) lemahnya kemandirian bangsa. Oleh karena itu, pemerintah segera mewujudkan pendidikan  karakter bagi seluruh komponen anak  bangsa demi masa depan kehidupan bangsa Indonesia  yang lebih baik dari sekarang.

Karakter yang diharapkan segera terwujud ialah karakter yang dijiwai oleh sila-sila yang ada dalam Pancasila. Setiap   butir dari sila-sila tersebut  dapat menjelmakan karakter  yang bersumber dari berbagai fungsi olahjiwa manusia Indonesia. Pertama,  fungsi olahhati, seperti karakter beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, tanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Kedua,  fungsi olahpikir, yaitu  karakter cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif. Ketiga,  fungsi olahraga-kinestetika, seperti karakter bersih, sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, kompetitif, ceria, dan gigih. Keempat, fungsi olahrasa-karsa seperti karakter berperikemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, peduli, nasionalis, mendunia, mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air, bangga menggunakan bahasa dan produk sendiri, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.

Sejalan dengan uraian di atas, Sugirin (2011:1) menyatakan,  bahwa pendidikan karakter bertujuan untuk menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter bersumber terdiri atas   pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,  dan pendidikan watak. Selain itu, pendidikan karakter bertujuan untuk  memberi keputusan baik, buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.  Oleh karena itu, pendidikan karakter dapat memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di kalangan masyarakat, termasuk nilai-nilai dalam cerita rakyat, seperti diuraikan di bawah ini.

 

Cerita  Rakyat Lahmudin dan Putri Hayatunnukus

 Cerita  rakyat Lahmudin dan Putri Hayatunnukus terdapat dalam buku Bangkahulu dalam Cerita dan Sejarah (BCS) karangan Rudi I dan Darwin Susianto (2016:28-46). (Kisah ini awal dari pertalian kerabat antara suku Lembak dengan suku Serawai). 

 Cerita  ini menggambarkan kesungguhan Lahmudin ( pemuda miskin) yang ingin belajar  untuk mencapai cita-cita hidupnya.  Lahmudin dikaruniai kecerdasan  yang luar biasa .  Berkat  kegigihan dalam menuntut ilmu ,  kejujuran, keikhlasan , akhirnya Lahmudin dapat mewujudkan cita-citanya. Karena kecerdasannya, akhirnya Lahmudin dapat menjawab semua pertanyaan  putri raja dalam sayembara. Lahmudin  menikah dengan Putri Hayatunnukus. Lahmudin menjadi Raja di Kerajaan Gunung Mesir menggantikan mertuanya.

Tema cerita rakyat Lahmudin  dan Putri Hayatunnukus  adalah kegigihan Lahmudin  dalam mencari ilmu demi terwujudnya cita-cita . Segala cara yang halal ditempuh untuk mewujudkan cita-cita hidup yang mulia. Amanat yang ingin disampaikan adalah  belajar terus pantang mundur walaupun halangan rintangan  menghadang demi  terwujudnya cita-cita.

Ada beberapa tokoh yang diceritakan dalam kisah ini yaitu: Lahmudin pemuda miskin, cerdas,   gigih dalam mencari ilmu, jujur, ikhlas, berbakti pada orang tua, bijaksana.   Putri Hayatunnukus yang pintar tetapi licik ,  ingkar janji,  dan pembohong.  Raja ,   Ayah dan Ibu Lahmudin yang rela dan ikhlas  menjadi budak raja , demi cita-cita anaknya tercapai,  dan  Nenek Bibik Rade Gasian.

Berdasarkan hasil penelitian, cerita  Lahmudin dan Putri Hayatunnukus mengandung isi ajaran moral sebagai berikut.

  • sikap tidak putus asa, seperti dalam kutipan berikut ” Anakku, kita ini orang miskin, penghasilan bapak sebagai penjual rumput tidak cukup…” (BCS : 28 ). Walaupun demikian Lahmudin tetap berusaha keras tanpa putus asa untuk belajar dengan menyimak dari luar kelas anak-anak raja.
  • rajin mencari ilmu, seperti dalam kutipan ” … Aku hendak belajar mengenai ilmu dunia dan akhirat” .(BCS:34).
  • bertekad kuat seperti dalam kutipan berikut “ saya mau ikut sayembara Nek, mohon doa restu” jawab Lahmudin bersikeras. (BCS: 35).
  • ikhlas dan jujur seperti dalam kutipan “ Hamba menerima hukuman (hukum pancung) dari tuanku “Kata Lahmudin penuh dengan keikhlasan.” (BCS :41).

Nilai moral   baik yang harus dilaksanakan dan harus dicontoh  sebagai berikut: sifat percaya diri , bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu,   tidak putus asa, bekerja keras, musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan,  tekad kuat,  ikhlas, kejujuran, rela berkorban demi kepentingan bersama,  berani,  hormat pada orang tua, taat pada aturan , teguh pada pendirian dan bijaksana.

Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut dapat digali  dan ditransformasikan kepada peserta didik, terutama anak-anak di Provinsi Bengkulu melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia . Dengan  buku bacaan, guru dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan membaca anak, serta membentuk karakter sesuai dengan tema, amanat, dan pesan moral di dalam cerita tersebut.

       Nilai moral buruk  yang harus dijauhi  di antaranya  sebagai berikut:

sifat tidak jujur, curang/licik, menganggap rendah orang lain,  dan ingkar janji. Sifat ini diwakili oleh Putri Hayatunnukus.  Pelanggaran terhadap nilai moral berupa sanksi terhadap perilaku yang tidak baik.  Pelanggaran terhadap nilai moral berupa sanksi hukum  terhadap perilaku yang tidak baik. Perilaku Putri Hayatunnukus yang berbuat curang, menjebak Lahmudin dengan minuman yang memabukkan diceritakan  kepada Raja, karena itu raja menghukumnya dengan keputusan, bahwa Putri Hayatunnukus harus menikah dengan Lahmudin sesuai dengan perjanjian semula.

Melalui cerita rakyat  ini, anak-anak di Provinsi Bengkulu dapat memperoleh gambaran mengenai  tokoh-tokoh ceritanya. Dengan peran guru yang bijak, anak-anak dapat diarahkan untuk menghindari perilaku yang buruk dan perangai yang tercela. Anak-anak  Bengkulu diharapkan mampu berpikir dan bersaing di era  global, tetapi tetap berperilaku santun sesuai dengan karakter budaya lokal Bengkulu. Banggalah dengan bahasa, sastra, dan budaya Bengkulu. 

 

*Penulis:

Peneliti Sastra, Kantor Bahasa Bengkulu

Bagaimana Sebuah Kata Masuk ke KBBI

Untuk menjadi “warga” Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebuah kata harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia secara sematis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan (usage). Persyaratan tersebut diwakili oleh hal berikut.

  1. Unik. Kata yang diusulkan, baik berasal dari bahasa daerah, maupun bahasa asing, memiliki makna yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut akan berfungsi menutup rumpang leksikal (lexical gap), kekosongan makna dalam bahasa Indonesia, contohnya tinggimini, yaitu sebuah tradisi beberapa suku di Papua, seperti Muyu dan Dani berupa pemotongan jari tangan untuk menunjukkan kekecewaan atau duka mendalam atas meninggalnya salah satu anggota keluarga yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.

 

  1. Eufonik (sedap didengar). Kata yang disusulkan tidak mengandung bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia atau dengan kata lain sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. Persyaratan ini dimaksudkan agar kata tersebut mudah dilafalkan oleh oleh penutur bahasa Indonesia dengan beragam latar bahasa ibu, contohnya akhiran /g/ dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa menjadi /k/ dalam bahasa Idonesia atau fonem /eu/ dalam bahasa Sunda menjadi /e/ dalam bahasa Indonesia.

              ojeg  > ojek

              keukeuh > kekeh

 

  1. Seturut kaidah bahasa Indonesia. Kata tersebut dapat dibentuk dan membentuk kata lain dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan.

             kundur > (ter)kunduri

 

  1. Tidak berkonotasi negatif.  Kata yang memiliki konotasi negatif tidak dianjurkan masuk karena kemungkinan tidak berterima di kalangan pengguna tinggi, misalnya beberapa kata yang memiliki makna sama yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Dari beberapa kata tersebut, yang akan dipilih untuk masuk ke dalam KBBI adalah kata yang memiliki konotasi lebih positif. Kata lokalisasi dan pelokalan, misalnya, memiliki makna sama. Bentuk terakhir lebih dianjurkan karena memiliki konotasi yang lebih positif. Konotasi tersebut dapat dilihat dari sanding kata yang mengikuti setiap kata tersebut. Contoh dari korpus (http://corpora.informatik.uni-leipzig.de/de/res?corpusId=ind_mixed_2013&word=) berikut dapat menjelaskan hal tersebut.

                                                                                                  

                                                                                           Pelokalan

 

                                      

                                                     Lokalisasi

 

  1. Kerap dipakai. Kekerapan pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi (frequence) dan julat (range). Frekuensi adalah kekerapan kemunculan sebuah kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah. Sebuah kata dianggap kerap pakai kalau frekuensi kemunculannya tinggi dan wilayah kemunculannya juga tersebar secara luas, contohnya kata bobotoh yang ketersebaran penggunaannya meluas di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi serta frekuensi kemunculannya juga tinggi. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa laman seperti Googletrends dan Google search.

 

 

Julat (https://trends.google.co.id/trends/explore?q=bobotoh)

 

                     Frekuensi (https://www.google.co.id/search)

                                                                                                                                                                                                              (AD)

Bidang Pengembangan

Pusat Pengembangan dan Pelindungan

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa