Arsip Kategori: Artikel

MENYOAL GELIAT LITERASI DI INDONESIA

Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian itu berkembang menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup.

Menurut UNESCO, pengertian literasi adalah sebagai berikut. “Literacy as the “ability to identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed and written materials associated with varying contexts. Literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society”(The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)).

Di Indonesia sendiri, fakta memprihatinkan terungkap dari pemeringkatan literasi internasional, Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016. Dari penelitian tersebut terungkap fakta kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat ketinggalan. Indonesia berada di urutan ke-60 dari total 61 negara (www.jpnn.com, 13 April 2016).

            Menilik dari fakta tersebut, sudah semestinya program literasi terus diupayakan secara maksimal. Pemerintah sudah mulai memberikan perhatian serius pada program-program literasi. Upaya untuk meningkatkan minat baca dan menjaga agar kegiatan literasi terus berdenyut dalam kehidupan masyarakat pun terus dilakukan.

Permendikud nomor 23 tahun 2015 yang mengharuskan para siswa membaca 15 menit sebelum memulai KBM adalah langkah revolusioner pemerintah untuk memulai kebiasaan membaca di kalangan siswa, sekaligus Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Gerakan Literasi Sekolah (GLS) ini adalah gerakan wajib baca buku sukarela di sekolah setiap hari selama minimal 15 menit. Gerakan ini dikenal dengan nama sustained silent reading. Meskipun wajib kegiatan ini termasuk bersifat rekreatif dan free voluntary reading. Berdasarkan 51 dari 54 penelitian pada program SSR ini siswa meningkat prestasinya dan semakin lama program ini dilaksanakan semakin besar pula keberhasilannya. (Krashen, S. 2007).Gerakan ini diharapkan mampu memacu dan memicu kebiasaan membaca dikalangan pelajar.

Di tahun 2017 ini, Direktorat Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan (Dit. Bindiktara), Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menyelenggarakan Gerakan Indonesia Membaca (GIM) dan Kampung Literasi (KL) di beberapa Kabupaten/Kota di tanah air.

GIM yang dicanangkan pertama kali di tahun 2015 ini merupakan kegiatan membangun budaya baca masyarakat yang diselenggarakan secara lintas sektoral dengan melibatkan lembaga swasta, organisasi sosial, kemasyarakatan, keagamaan, kepemudaan, profesi, satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan nonformal, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), dan forum-forum yang menjadi mitra dinas pendidikan. GIM bertujuan agar masyarakat dapat memperoleh informasi dan mengakses bahan bacaan yang dibutuhkannya dan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup serta bisa menjadikannya sebagai pembelajar sepanjang hayat. Menurut informasi, GIM 2017 akan diselenggarakan di 19 Kabupaten/Kota dan KL 2017 akan diselenggarakan di 34 lembaga. (http://donasibuku.kemdikbud.go.id)

Berbagai gerakan literasi juga sedang dikembangkan oleh para pegiat literasi. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memupus kesenjangan bahan bacaan di kota besar dengan di daerah. Pemerintah pun menanggapi positif. Salah satunya dengan solusi menggratiskan biaya ongkir untuk pengiriman donasi buku melalu kantor pos. Dengan menggratiskan biaya ongkir buku, diharapkan donatur semakin bersemangat untuk mendistribusikan buku kepada TBM dan perpustakaan yang dituju. Bagaimanapun, upaya meningkatkan minat baca masyarakat perlu ditunjang dengan ketersediaan bahan bacaan yang memadai.

Dukungan dari berbagai pihak sangat penting untuk menyukseskan gerakan literasi ini. Salah satu yang utama adalah peran keluarga. Sebagai unit masyarakat terkecil, keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Oleh karena itu, berkaitan dengan gerakan literasi, tentunya peran keluarga harus diperkuat.

Mewujudkan gerakan literasi dimulai dari rumah bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang sulit. Perlu ditumbuhkanpondasi awal berupa kesadaran dan rasa butuh terhadap pentingnya membaca.Jika hal tersebut belum terbangun, maka akan sulit budaya literasi terwujud.

 

*Dari berbagai sumber.

 

Penulis: Ahmad Khoirus Salim, Staf Kantor Bahasa Bengkulu

 

 

Menulis Cerita Anak

Menulis cerita anak terlihat simpel dan mudah, akan tetapi ternyata banyak penulis yang merasa kesulitan merangkai sebuah cerita anak yang baik. Cerita anak mempunyai teknik penulisan tersendiri yang bisa dipelajari. Berikut diuraikan beberapa hal tentang cara menulis cerita anak.

 

  1. Tentukan ide cerita

Ide cerita yang bagus dan mengena pada anak merupakan aspek terpenting dari cerita anak yang bagus. Anda bisa membaca buku-buku anak favorit untuk mencari inspirasi. Pilihlah cerita yang paling sesuai dengan minat dan bakat Anda.  Cerita anak tidak perlu harus realistis. Anda bisa menulis tentang fabel dan dongeng-dongeng  fantasi.  Anak-anak akan menyukai cerita  semacam itu.

  1. Menulis dengan gaya penulisan yang sesuai dengan usia sasaran

Menulislah dengan gaya yang sesuai dengan usia sasaran. Sebagai contoh, anak-anak yang lebih muda usianya menyukai cerita dengan jalan cerita yang ringan (atau bahkan tanpa jalan cerita) dan bermain dengan kata-kata (misalnya, pengulangan rangkaian kata seperti, “Jangan, jangan ada pus. Hus! Hus! Hus!”). Sebaliknya, anak-anak yang lebih besar lebih suka jalan cerita yang lebih rumit dan suasana yang memperlakukan mereka seolah-olah mereka bukan anak-anak lagi.

Gunakan paragraf yang singkat dengan diksi yang bisa dipahami anak. Hindarilah memakai kata-kata kasar untuk cerita anak. Penulisan cerita haruslah memiliki kualitas terbaik untuk mendukung anak mencintai bahasa mereka dan ingin membaca lebih banyak.

  1. Pertimbangkan untuk menambahkan ilustrasi

Jika Anda kebetulan bisa membuat ilustrasi, Anda bisa menambahkan ilustrasi buatan Anda sendiri ke dalam cerita. Hal tersebut bisa menambah keindahan cerita dan membuat cerita Anda semakin mudah dinikmati anak secara visual. Namun, jika Anda bukan pembuat ilustrasi profesional, jangan berkecil hati. Anda dapat bekerja sama dengan ilustrator lain. Anda tinggal membuat deskripsi yang bisa dipahami dan diterjemahkan oleh ilustrator.

  1. Buatlah cerita yang berakhir bahagia

Cerita untuk anak-anak sebaiknya berakhir dengan bahagia. Kebanyakan anak tidak suka jika tokoh cerita kesukaan mereka mengalami akhir cerita yang buruk. Mereka akan merasa sedih dan kecewa dengan keseluruhan cerita.

Namun, kenyataannya, tidak semua cerita berakhir dengan bahagia. Anda bisa menyiasati hal itu. Akhir cerita yang sedih, tetapi diramu dengan baik, bisa membantu anak-anak menghadapi beberapa pelajaran hidup yang lebih keras. Jadi, cerita anak tidak harus selalu dihindarkan dari tema cerita yang menyedihkan.

 

*Dari berbagai sumber

 

Penulis:  Ahmad Khoirus Salim

Staf Kantor Bahasa Bengkulu

 

Resep Jitu Membaca Puisi

Membaca puisi perlu keseriusan, kekhususan, dan pengorbanan, dengan proses berlatih yang terus memerus. Puisi akan terasa gelap jika kita belum bisa mengakrabinya. Puisi akan menjadi terang jika kita bisa menguak misterinya. Ada banyak jenis puisi dan masing-masing harus dikekati dengan cara yang berbeda-beda. Ada puisi yang berisi cerita tentang sesuatu yang bernada menggurui, mencaci, merayu, merengek, menyindir, dan mengajak sesuatu, ada puisi yang hanya berisi luapan perasaan, ada puisi yang melukiskan suasana, ada puisi yang berisi gagasan/ajaran, ada puisi yang sarat ide-ide abstrak, ada puisi yang penuh permainan irama.

Membaca karya sastra (puisi) bukan sekadar membaca, tetapi membaca dengan sungguh-sungguh, dengan empati, dengan kegairahan, sampai ia menemukan pengalaman pengarang di dalam karangannya. Pembaca memperoleh kenikmatan, dan pada akhirnya ia merasa perlu untuk memberikan penghargaan yang layak terhadap karya sastra.

Membaca sastra pada umumnya  mengacu pada dua tujuan pokok, yakni (1) membaca untuk diri sendiri dan (2) membaca untuk orang lain. Dalam proses pembacaan sastra, pembaca  memperoleh peran yang sangat dominan untuk menghidupkan sastra agar dapat dinikmati oleh orang lain. Artinya, pembacalah yang paling banyak melakukan kegiatan pembacaan sastra. Pembaca puisi berupaya mengungkapkan suatu ide dengan perantaraan bunyi-bunyi bahasa yang indah dan mengesankan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan seseorang jika akan membaca puisi.

Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan oleh seseorang jika akan  membaca puisi?

Pertama, pemanfaatan alat ucap. Setiap orang yang normal memiliki alat ucap. Yang menjadi masalah ialah begaimana pembaca puisi dapat memanfaatkan alat ucap secara maksimal dalam membaca puisi secara estetis?. Alat ucap itu dimanfaatkan untuk merealisasikan faktor kebahasaan seperti lafal, intonasi, dan jeda.

Pembaca puisi harus mampu mengucapkan bunyi-bunyi vokal: a,i,u,e,o dan bunyi-bunyi konsonan seperti k,l,m,r,d dan seterusnya sesuai dengan proses kewajaran. Apabila volume suara sudah cukup dan artikulasinya sudah cukup dan sudah tepat, aspek lain yang harus diperhitungkan adalah bunyi pembawaan (performance). Bunyi-bunyi ini didukung oleh bunyi-bunyi kuantitatif: panjang-pendeknya ucapan, keras-lemahnya tekanan, lama- singkatnya ucapan yang umumnya disebut tempo. Peranan subjektif dan kreatif ikut menentukan sukses-tidaknya dalam membaca puisi secara estetis.

Kedua, penguasaan faktor kebahasaan seperti lafal, intonasi, dan jeda. Pelafalan ialah usaha untuk mengucapkan bunyi-bunyi bahasa, baik suku kata, kata, frasa,  maupun kalimat. Pelafalan dalam membaca puisi maksudnya ialah pelafalan bunyi bahasa sesuai dengan jiwa dan tema puisi. Intonasi dalam pembacaan puisi menyangkut ketepatan penyajian tinggi- rendah irama puisi. Irama  ini dapat diperoleh dengan mempertimbangkan berbagai jenis tekanan, yaitu (1) tekanan dinamik (tekanan pada aspek yang ditekannkan), (2) tekanan nada (tinggi-rendahnya pengucapan), dan (3) tekanan tempo (panjang- pendeknya pengucapan).

Ketiga, penguasaan non-kebahasaan (performance) meliputi  (1) sikap wajar dan tenang, (2) gerak-gerik dan mimik, (3) volume suara, (4) kelancaran dan ketepatan . Pembaca puisi yang baik bisa bersikap wajar dan tenang; gerak-gerik dan mimiknya (ekspresi wajah) menggambarkan bahwa ia dapat memahami dan menghayati puisi yang dibacanya; pembaca puisi yang berpengalaman dapat menyesuaikan volume suara dengan tempat, jumlah penonton, dan ada-tidaknya pengeras suara. Kelancaran, kecepatan, dan ketepatan pembacaan puisi dapat mendukung kesuksesan dalam membaca puisi secara estetis. Bagaimana pembacaan puisi yang komunikatif, indah, dan memikat penikmat. Pembaca puisi yang komunikatif minimal harus memiliki tiga hal yakni: (1) penghayatan, (2) pelafalan, dan (3)  penampilan.

1. Penghayatan.

Penghayatan adalah pengalaman batin. Pembaca puisi sebaiknya memahami dan menghayati apa yang dirasakan oleh penyair pada saat menciptakan puisinya, memahami dan menghayati persoalan yang ditulis di puisi, menangkap nada, dan suasana puisi yang dibacanya.

2.  Pelafalan

Pembaca puisi perlu menguasai pelafalan yang meliputi kejelasan  ucapan, artikulasi, kemerduan, dan kesesuaian tekanan dinamik (keras-lemah), tekanan tempo (cepat-lambat), tekanan nada (tinggi-rendah), dan modulasi (perubahan bunyi desah, gesture, dll.), tidak mengkorupsi dan menambah kata.

3.Penampilan.

Aspek penampilan meliputi gerak kecil, gerak besar, dan mimik. Oleh karena itu, untuk mendukung penampilannya, pembaca puisi perlu menciptakan kondisi psikologis seperti pemusatan pikiran, percaya diri, dan memiliki pemahaman yang tepat secara kontekstual. Aspek lain  yang penting dikuasai oleh pembaca puisi adalah aspek dinamis. Aspek dinamis ini lebih sulit diketahui secara langsung oleh pembaca puisi. Aspek dinamis biasanya dipakai untuk membaca persamaan dan perbedaan, perulangan, dan selinagn bunyi yang tampil pada larik-larik puisi. Bagian-bagian yang perlu mendapatkan tekanan dinamis adalah bagian-bagian puisi yang perlu mendapatkan tekanan dinamis adalah bagian-bagian yang perlu mendapatkan intensifikasi pengertian. Lambang-lambang yang menyatakan berbagai perasaan, misalnya bimbang, ragu-ragu ,kepastian, harapan, dan sebagainya direalisir dengan memperkecil aspek dinamisnya, yakni dengan cara melemahkan pembacaan, mengurangi tekanan, melambatkan tempo, dan meninggikan nada pengucapan. Semua ini berkaitan dengan penjiwaan puisi. Jadi resep jitu yang harus dimiliki seorang dalam membaca  puisi yakni: (1) percaya diri, (2) pemahaman, (3) ekspresi, (4) ritme (irama), (5) emosi (perasaan), (6) penguasaan arena, (7) pengendalian pernafasan, (8) pemusatan pikiran, dan (9) penggunaan suara.

 

Penulis: Karyono, S.Pd., M.Hum.

Kepala Kantor Bahasa Bengkulu

MENJAGA BAHASA IBU, MELESTARIKAN KEARIFAN LOKAL

Sejak 17 November 1999, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari Bahasa Ibu Internasional. Tanggal tersebut dipilih karena memiliki alasan historis yaitu bertepatan dengan Hari Gerakan Bahasa yang awalnya dilakukan di Bangladesh. Pada hari keduapuluh satu bulan Februari  tahun 2017, masyarakat dunia akan merayakan Hari Bahasa Ibu untuk kedelapan belas kalinya.

Masyarakat Indonesia saat ini akan sulit memahami kenapa bahasa daerah harus dilestarikan. Penetrasi cepat bahasa Indonesia melalui dunia pendidikan telah memarginalisasi bahasa daerah sebagai bahasa kelas dua. Bahasa yang dipersepsikan sebagai simbol yang bertautan erat dengan ketertinggalan, udik, bahkan kebodohan. Bahasa ini merupakan penghambat kemajuan karena tidak memiliki orientasi untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Akibatnya, banyak generasi muda terdidik yang meninggalkan bahasa daerahnya. Akibatnya bahasa-bahasa tersebut tidak memiliki penutur lagi dan lama kelamaan menjadi punah.

Indonesia yang merupakan negara dengan keragaman bahasa daerah terbesar kedua di dunia dengan lebih dari 746 bahasa daerah yang masih bertahan (Pusat Bahasa, 2008). Delapan  bahasa daerah diklaim telah punah.Sebuah kehilangan besar Sulit mengetahui bagaimana kondisi bahasa daerah lain di Indonesia, karena hingga hari ini pemerintah belum memiliki data menyeluruh tentang kondisi (vitalitas) bahasa daerah di Indonesia. LIPI meramalkan hanya akan ada empat bahasa daerah yang bertahan dari keseluruhan jumlah tersebut pada 2050.

Di wilayah administratif Provinsi Bengkulu terdapat empat bahasa daerah, yaitu bahasa Bengkulu (yang meliputi dialek Melayu Bengkulu, Lembak, Serawai, Semendo, Mulak, dan Pasemah), bahasa Rejang, bahasa Enggano, dan bahasa Pekal (Kantor Bahasa Bengkulu, 2013). Dari empat bahasa tersebut hanya bahasa Bengkuluyang masih mungkin bertahan. Bahasa lain seperti Rejang dan Pekal sudah mengalami pergeseran dan penurunan jumlah penutur secara signifikan.Bahasa Enggano hingga saat ini masih memiliki peluang karena didukung oleh kondisi geografisnya yang terisolir (Wibowo, 2013). Hari-hari ini sulit meramalkan masa depan bahasa-bahasa daerah di Bengkulu.

Bahasa Daerah sebagai Kapsul Waktu Kearifan Lokal

There is W-O-R-D to make a W-O-R-L-D

Kata-kata di atas menggambarkan bagaimana pentingnya sutau bahasa dalam pembentukan dunia melalui kearifan lokalnya. Dunia (world) pada hakikatnya bukanlah benda materi. Benda tempat manusia hidup dan tinggal disembut bumi (earth). Dunia (world)  merujuk padaserangkum pemikiran yang disepakati oleh manusia sebagai respon terhadap entitas di sekitarnya. Rangkuman pemikiran itu dibentuk berdasarkan persepsi dan dituangkan lewat kata-kata. Begitulah peran kata dalam membentuk dunia. Hal itu lah yang menyebabkan kita mengenal istilah dunia kedokteran, dunia islam, dunia politik, dunia olah raga, atau dunia tulis-menulis.

Semua dunia tersebut menuangkannya dan membatasi dunia mereka lewat kata-kata.Kata-kata ini akan menentukan persepsi dan respon anggota masyarakatnya terhadap dunia. Dunia kedokteran misalnya memiliki kalimat boleh bohong, tidak boleh salah. Inilah dasar yang menentukan respon mereka pada dunia. Meski norma di dunia umum melarang seseorang berbohong, dalam dunia kedokteran seorang dokter boleh saja berbohong saat menumbuhkan semangat hidup dalam diri pasiennya. Dan dalam dunia kedokteran,  pelaku malpraktik akan mendapat hukuman sosial yang sangat parah meski di luar dunia itu dia tetap dihormati.

Begitulah kata (baca bahasa daerah) berkerja dalam membentuk dunia etnik tertentu. Bahasa Rejang membentuk dunia etnik Rejang yang pisang detudak luyen siket atau dunia etnik Serawai yang sekundang setungguan. Dunia mereka beserta perangkat pengetahuan yang mereka bentuk atau warisi dibentuk dalam bahasa daerah mereka. Oleh karena itu, akibat dari punahnya bahasa daerah tidak bisa dianggap enteng karena sama dengan hilangnya satu dunia (peradaban)  beserta segenap kearifan lokalnya.

Punahnya suatu bahasa membawa pengetahuan dan kearifan lokal bersamanya. Hilangnya kearifan lokal menghilangkan kemungkinan bagi kita untuk menemukan solusi dari pengetahuan yang telah dibangun nenek moyang kita. Kita harus mahfum bahwa waktu telah membuktikan pada kita bahwa penyelesaian masalah melalui adopsi budaya asing banyak menimbulkan ekses yang negatif. Budaya lokal, sebaliknya, memberikan kita kemungkinan-kemungkinan yang lebih sesuai untuk memecahkan persoalan kehidupan yang kita hadapi. Ini karena kearifan lokal,yang disampaikan dalam bahasa daerah, dibentuk melalui proses pembelajaran dan disempurnakan secara turun temurun dalam ekologi lokal. Sebagai respon dari tantangan ekologi lokal, rumusan solusi yang dihasilkan dalam proses penyempurnaan bertahun-tahun ini akan menjadi sangat kontekstual dan tepat guna.

Jabaran di atas akan lebih mudah dipahami jika kita mengemukakan contoh-contoh tertentu. Dalam masyarakat Bengkulu kita kenal ungkapan ikan sejerek, bere secupak. Ungkapan ini sering kali dimaknai secara negatif oleh generasi muda sekarang. Padahal dalam konteks kekinian ungkapan ini merupakan jawaban bagi krisis sosial dan krisis lingkungan yang kita hadapi dewasa ini. Ikansejerek, bere secupakhakikatnya mengajarkan etnik Bengkulu untuk tidak berlebihan mengeksplotasi sesuatu, baik lingkungan maupun diri sendiri. Ikan sejerek menganjurkan etnik Bengkulu untuk mengambil secukupnya dari alam demi menjamin kelangsungan ekologinya. Ini merupakan usaha untuk melestarikan lingkungan. Bere secupakmerupakan nasihat bagi orang Bengkulu bahwa secara sosial mereka harus berbagi. Sebesar apa pun yang mereka dapat hasilkan, apa yang dapat mereka nikmati hanya sesuai kebutuhan mereka, kelebihannya harus mereka pergunakan untuk urusan lain misalnya pengembangan usaha ataupun berbagi pada yang kurang beruntung.

Contoh lain yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pengobatan tradisional. Masyarakat Bengkulu (khususnya etnik Serawai) secara luas mengenal dauncapa sebagai obat flu untuk bayi dan balita. Generasi muda Serawai yang tidak lagi berbicara dalam bahasa mereka tentu saja tidak mengetahui apa itu daun capa dan apa manfaatnya. Padahal herba ini dapat menjadi alternatif pengobatan yang cepat (karena tumbuh di sekitar lingkungan rumah) dan murah. Bahkan lebih jauh patut digali kemungkinan herba ini dan herba lain yang dikenal dalam masyarakat Serawai untuk dikembangkan dengan cara modern.

RefleksiDelapan Belas Tahun Hari Bahasa Ibu

Melestraikan bahasa daerah merupakan kewajiban bersama masyarakat, namun harus ditekankan bahwa Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, dan BMA memiliki posisi penting dalam mewujudkannya. Revitalisasi bahasa daerah di Bengkulu saat ini jauhsekali dari kata ideal, oleh karena itu perlu dimulai gerakan bersama dengan tempo sesingkat-singkatnya untuk menyelamatkan bahasa kita, identitas kita, dan kearifan lokal yang dikandungnya.

Penulis: Sarwo Ferdi Wibowo

Staf dan Peneliti di Kantor Bahasa Bengkulu

Sekilas tentang Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
 
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
 
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
 
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
 
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
 
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
 
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
 
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
 
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
 
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
 
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sumber :