Arsip Kategori: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Bagaimana Sebuah Kata Masuk ke KBBI

Untuk menjadi “warga” Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebuah kata harus sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia secara sematis, leksikal, fonetis, pragmatis, dan penggunaan (usage). Persyaratan tersebut diwakili oleh hal berikut.

  1. Unik. Kata yang diusulkan, baik berasal dari bahasa daerah, maupun bahasa asing, memiliki makna yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut akan berfungsi menutup rumpang leksikal (lexical gap), kekosongan makna dalam bahasa Indonesia, contohnya tinggimini, yaitu sebuah tradisi beberapa suku di Papua, seperti Muyu dan Dani berupa pemotongan jari tangan untuk menunjukkan kekecewaan atau duka mendalam atas meninggalnya salah satu anggota keluarga yang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan.

 

  1. Eufonik (sedap didengar). Kata yang disusulkan tidak mengandung bunyi yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia atau dengan kata lain sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. Persyaratan ini dimaksudkan agar kata tersebut mudah dilafalkan oleh oleh penutur bahasa Indonesia dengan beragam latar bahasa ibu, contohnya akhiran /g/ dalam bahasa Betawi/Sunda/Jawa menjadi /k/ dalam bahasa Idonesia atau fonem /eu/ dalam bahasa Sunda menjadi /e/ dalam bahasa Indonesia.

              ojeg  > ojek

              keukeuh > kekeh

 

  1. Seturut kaidah bahasa Indonesia. Kata tersebut dapat dibentuk dan membentuk kata lain dengan kaidah pembentukan kata bahasa Indonesia, seperti pengimbuhan dan pemajemukan.

             kundur > (ter)kunduri

 

  1. Tidak berkonotasi negatif.  Kata yang memiliki konotasi negatif tidak dianjurkan masuk karena kemungkinan tidak berterima di kalangan pengguna tinggi, misalnya beberapa kata yang memiliki makna sama yang belum ada dalam bahasa Indonesia. Dari beberapa kata tersebut, yang akan dipilih untuk masuk ke dalam KBBI adalah kata yang memiliki konotasi lebih positif. Kata lokalisasi dan pelokalan, misalnya, memiliki makna sama. Bentuk terakhir lebih dianjurkan karena memiliki konotasi yang lebih positif. Konotasi tersebut dapat dilihat dari sanding kata yang mengikuti setiap kata tersebut. Contoh dari korpus (http://corpora.informatik.uni-leipzig.de/de/res?corpusId=ind_mixed_2013&word=) berikut dapat menjelaskan hal tersebut.

                                                                                                  

                                                                                           Pelokalan

 

                                      

                                                     Lokalisasi

 

  1. Kerap dipakai. Kekerapan pemakaian sebuah kata diukur menggunakan frekuensi (frequence) dan julat (range). Frekuensi adalah kekerapan kemunculan sebuah kata dalam korpus, sedangkan julat adalah ketersebaran kemunculan kata tersebut di beberapa wilayah. Sebuah kata dianggap kerap pakai kalau frekuensi kemunculannya tinggi dan wilayah kemunculannya juga tersebar secara luas, contohnya kata bobotoh yang ketersebaran penggunaannya meluas di beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi serta frekuensi kemunculannya juga tinggi. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa laman seperti Googletrends dan Google search.

 

 

Julat (https://trends.google.co.id/trends/explore?q=bobotoh)

 

                     Frekuensi (https://www.google.co.id/search)

                                                                                                                                                                                                              (AD)

Bidang Pengembangan

Pusat Pengembangan dan Pelindungan

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
 
 
 
 
 

MENYOAL GELIAT LITERASI DI INDONESIA

Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Pengertian itu berkembang menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup.

Menurut UNESCO, pengertian literasi adalah sebagai berikut. “Literacy as the “ability to identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed and written materials associated with varying contexts. Literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society”(The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)).

Di Indonesia sendiri, fakta memprihatinkan terungkap dari pemeringkatan literasi internasional, Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016. Dari penelitian tersebut terungkap fakta kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat ketinggalan. Indonesia berada di urutan ke-60 dari total 61 negara (www.jpnn.com, 13 April 2016).

            Menilik dari fakta tersebut, sudah semestinya program literasi terus diupayakan secara maksimal. Pemerintah sudah mulai memberikan perhatian serius pada program-program literasi. Upaya untuk meningkatkan minat baca dan menjaga agar kegiatan literasi terus berdenyut dalam kehidupan masyarakat pun terus dilakukan.

Permendikud nomor 23 tahun 2015 yang mengharuskan para siswa membaca 15 menit sebelum memulai KBM adalah langkah revolusioner pemerintah untuk memulai kebiasaan membaca di kalangan siswa, sekaligus Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Gerakan Literasi Sekolah (GLS) ini adalah gerakan wajib baca buku sukarela di sekolah setiap hari selama minimal 15 menit. Gerakan ini dikenal dengan nama sustained silent reading. Meskipun wajib kegiatan ini termasuk bersifat rekreatif dan free voluntary reading. Berdasarkan 51 dari 54 penelitian pada program SSR ini siswa meningkat prestasinya dan semakin lama program ini dilaksanakan semakin besar pula keberhasilannya. (Krashen, S. 2007).Gerakan ini diharapkan mampu memacu dan memicu kebiasaan membaca dikalangan pelajar.

Di tahun 2017 ini, Direktorat Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan (Dit. Bindiktara), Direktorat Jenderal PAUD dan Dikmas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menyelenggarakan Gerakan Indonesia Membaca (GIM) dan Kampung Literasi (KL) di beberapa Kabupaten/Kota di tanah air.

GIM yang dicanangkan pertama kali di tahun 2015 ini merupakan kegiatan membangun budaya baca masyarakat yang diselenggarakan secara lintas sektoral dengan melibatkan lembaga swasta, organisasi sosial, kemasyarakatan, keagamaan, kepemudaan, profesi, satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan nonformal, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), dan forum-forum yang menjadi mitra dinas pendidikan. GIM bertujuan agar masyarakat dapat memperoleh informasi dan mengakses bahan bacaan yang dibutuhkannya dan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup serta bisa menjadikannya sebagai pembelajar sepanjang hayat. Menurut informasi, GIM 2017 akan diselenggarakan di 19 Kabupaten/Kota dan KL 2017 akan diselenggarakan di 34 lembaga. (http://donasibuku.kemdikbud.go.id)

Berbagai gerakan literasi juga sedang dikembangkan oleh para pegiat literasi. Berbagai upaya pun dilakukan untuk memupus kesenjangan bahan bacaan di kota besar dengan di daerah. Pemerintah pun menanggapi positif. Salah satunya dengan solusi menggratiskan biaya ongkir untuk pengiriman donasi buku melalu kantor pos. Dengan menggratiskan biaya ongkir buku, diharapkan donatur semakin bersemangat untuk mendistribusikan buku kepada TBM dan perpustakaan yang dituju. Bagaimanapun, upaya meningkatkan minat baca masyarakat perlu ditunjang dengan ketersediaan bahan bacaan yang memadai.

Dukungan dari berbagai pihak sangat penting untuk menyukseskan gerakan literasi ini. Salah satu yang utama adalah peran keluarga. Sebagai unit masyarakat terkecil, keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Oleh karena itu, berkaitan dengan gerakan literasi, tentunya peran keluarga harus diperkuat.

Mewujudkan gerakan literasi dimulai dari rumah bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal yang sulit. Perlu ditumbuhkanpondasi awal berupa kesadaran dan rasa butuh terhadap pentingnya membaca.Jika hal tersebut belum terbangun, maka akan sulit budaya literasi terwujud.

 

*Dari berbagai sumber.

 

Penulis: Ahmad Khoirus Salim, Staf Kantor Bahasa Bengkulu

 

 

SAYEMBARA DESAIN LOGO KONGRES BAHASA INDONESIA (KBI)

Sebagai lembaga kebahasaan yang ditunjuk resmi oleh presiden dan diatur dalam undang-undang, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki forum bagi para pencinta dan pemerhati bahasa dan sastra untuk membahas berbagai persoalan kebahasaan dan kesastraan dalam wujud Kongres Bahasa Indonesia (KBI). Bentuk visualisasi semangat yang terkandung dalam penyelenggaraan KBI pada tahun 2018 selaras dengan bentuk logo yang akan dimunculkan dalam KBI XI dengan tema “Menjayakan Bahasa dan Sastra Indonesia”. Logo digunakan sebagai identitas visual yang mencerminkan tujuan penyelenggaraan KBI dari masa ke masa, yakni untuk menjayakan negara dan bangsa Indonesia melalui bahasa dan sastra Indonesia.

Berdasarkan latar belakang tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa merasa perlu mengundang masyarakat untuk mengikuti sayembara desain logo KBI. Hasil akhir yang akan dicapai dalam sayembara desain logo ini adalah pemunculan logo KBI.

 

NILAI/MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM LOGO

  1. Bahasa Indonesia sebagai perekat persatuan dalam kebinekaan
  2. Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa
  3. Bahasa Indonesia sebagai pengungkap gagasan cendekia
  4. Bahasa Indonesia sebagai penghela iptek
  5. Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional
  6. Wadah/forum diskusi membicarakan pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia

 

TENGGAT

  1. Pelaksanaan sayembara               : 1 Desember 2017–15 Januari 2018
  2. Batas akhir pengiriman logo       : 15 Januari 2018, pukul 21.00 WIB
  3. Pengumuman tiga logo terbaik   : 8 Februari 2018
  4. Pengumuman pemenang logo     : 18 Februari 2018

 

PENGHARGAAN

  1. Juri akan memilih tiga (3) logo terbaik yang kemudian diberikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk ditentukan sebagai logo terbaik pertama, kedua, dan ketiga.
  2. Total hadiah berjumlah Rp22.500.000,00, dengan rincian logo terbaik pertama akan mendapatkan uang sebesar Rp10.000.000,00;  terbaik kedua Rp7.500.000,00; dan terbaik ketiga Rp5.000.000,00.
  3. Desain logo terbaik pertama akan ditetapkan sebagai logo KBI.
  4. Pemenang logo terbaik pertama akan diundang sebagai peserta untuk mengikuti KBI XI.

PENDAFTARAN

  1. Peserta mengisi formulir pendaftaran (terlampir).
  2. Peserta mengirimkan karya hasil desain dengan kriteria:format PNG;

a. materi desain diperkecil menjadi 620×620 piksel;

b. ukuran berkas (file) maksimal 200 kb; dan

c. berkas dikirim ke pos-el kbixi@kemdikbud.go.id dengan subjek

    Nama_Sayembara_Logo_KBI.

    Contoh: Miftahussururi_Sayembara_Logo_KBI.

 

SYARAT KEABSAHAN

  1. Logo dibuat pada papan seni (artboards) berukuran 620×620 piksel.
  2. Logo harus memuat tulisan “Kongres Bahasa Indonesia”, susunan huruf kapital dan huruf kecil harus sesuai dengan tulisan tersebut, dan jenis huruf (font)  sesuai dengan kreativitas peserta.
  3. Karya peserta harus disertai penjelasan dan makna/filosofi/konsep desain dalam bentuk Ms. Word.
  4. Peserta yang karyanya terpilih sebagai tiga (3) logo terbaik, wajib mengirimkan berkas (file) asli dalam format EPS (Encapsulated Postscript) atau pixel base berukuran sesuai dengan butir 1 sebagai bukti keaslian karya.

 

KRITERIA PENILAIAN

1. Substansi:

  • Mencerminkan makna/nilai KBI
  • Memiliki deskripsi (penjelasan) yang jelas tentang KBI

2. Gambar/Simbol:

  • Menarik
  • Unik
  • Mudah dikenal

3. Bentuk:

  • Menunjukkan ciri khas KBI
  • Mengikuti kaidah atau prinsip desain (kesatuan, keseimbangan, proporsi, irama, dan dominasi)

4. Warna:

  • Sesuai dengan imajinasi dan kreativitas peserta
  • Komposisi seimbang dan serasi
  • Mudah untuk diaplikasikan di berbagai media

JURI

  1. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
  2. Juri Profesional

 

PERATURAN

  1. Lomba bersifat perorangan dan terbuka untuk umum.
  2. Setiap peserta hanya dapat mengirimkan satu karya.
  3. Karya berupa/berbentuk desain grafis, bukan materi fotografi.
  4. Karya tidak mengandung merek dagang, logo, ciptaan yang dilindungi hak cipta, atau Hak atas Kekayaan Intelektual dalam bentuk apa pun milik pihak lain.
  5. Karya merupakan desain asli yang belum pernah diikutsertakan dalam kompetisi/lomba apa pun, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
  6. Peserta dapat mempertanggungjawabkan hasil karyanya.
  7. Karya terpilih (logo terbaik pertama) menjadi hak cipta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang kemudian ditetapkan dengan surat keputusan.
  8. Pajak ditanggung pemenang.
  9. Keputusan panitia dan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
  10. Pemenang diumumkan melalui laman dan akun media sosial Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

 

Narahubung

 Princes Alberta: 085643035537

 

Catatan:

Formulir pendaftaran dikirimkan beserta dengan hasil karya.

Salinan identitas yang terdapat dalam formulir pendaftaran sayembara diisi dengan data pindai kartu identitas diri (KTP/SIM) yang masih berlaku.

 

Lampiran:

Informasi tentang Kongres Bahasa Indonesia

 

Kemendikbud Siap Sambut Oktober sebagai Bulan Bahasa dan Sastra

Jakarta, Kemendikbud — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada bulan Oktober akan memperingati Bulan Bahasa dan Sastra 2017. Bulan Bahasa dan Sastra diselenggarakan pada bulan Oktober karena berkaitan dengan Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928. Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbud Dadang Sunendar mengatakan, tahun ini mengangkat tema “Majukan Bahasa dan Sastra, Rekatkan Kebinekaan”.

Bulan Bahasa dan Sastra secara rutin diselenggarakan Kemendikbud pada bulan Oktober sejak tahun 1980 sebagai salah satu bentuk memperingati hari lahirnya Sumpah Pemuda, yang menyepakati Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

“Kegiatan yang dilaksanakan selama Bulan Bahasa dan Sastra cukup banyak. Nanti akan dilaksanakan di pusat (Jakarta) maupun di berbagai provinsi di tanah air, sedangkan puncak acaranya akan dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober,” ujar Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Dadang Sunendar di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Saat puncak acara Bulan Bahasa dan Sastra pada 28 Oktober tahun lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy meresmikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) baru, yaitu edisi kelima dengan 108.000 lema atau kosakata. Kemudian ada juga peluncuran tiga jenis KBBI, yaitu KBBI Cetak (seperti Kamus/Buku), KBBI Daring (dalam jaringan atau online), KBBI Luring (luar jaringan atau offline atau berbasis komputer).

Dadang menuturkan, bahasa Indonesia yang merupakan bahasa nasional merupakan bahasa pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia juga dapat menghilangkan batas-batas etnisitas bangsa Indonesia dalam berkomunikasi. Selain itu bahasa Indonesia juga mempunyai peran sebagai penghela ilmu pengetahuan yang mampu mewadahi keberagaman macam pengetahuan baik yang berakar dari kearifan nusantara maupun konsep peradaban barat.

Beberapa upaya yang dilakukan untuk memajukan bahasa Indonesia antara lain memiliki peraturan perundangan yang menjaga dan memastikan keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa sejarah, mengembangkan lema atau kosakata, melakukan pembinaan dan penyuluhan bahasa, dan berupaya menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.

“Bahasa asing di ruang publik dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja. Namun, lama-kelamaan rasa nasionalisme kita bisa terputus. Padahal kita mengetahui bahasa kita merupakan salah satu elemen dari Sabang sampai Merauke, yaitu sebagai jembatannya adalah bahasa Indonesia,” tutur Dadang. 

(Febri Rahmayanti/ lenny damayanti /Desliana Maulipaksi)

Sumber : 

Penulis : pengelola web kemdikbud

Sekilas tentang Sejarah Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
 
Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
 
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
 
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
 
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
 
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
 
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
 
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
 
Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
 
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
 
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sumber :