Arsip Kategori: majalah

Budaya Membaca dapat Menghalau Laju Penyebaran Berita Hoaks

Tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila. Ideologi negara yang dirancang dan dibentuk oleh founding father negara kita dan para pahlawan nasional telah melalui jalan cukup panjang hingga terbentuklah lima dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila. Dalam bahasa Sanskerta, panca berarti 5 dan sila berarti dasar. Pembentukan dasar negara ini memiliki satu tujuan  mulia yakni untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa yang terbentang dari Sabang hingga Merauke dan Pulau Miangas hingga Pulau Rote.

Namun belakangan ini terjadi beberapa peristiwa yang membuat marwah pancasila menjadi media pemersatu bangsa tercoreng sehingga membuat keadaan Indonesia sedikit kurang kondusif. Terjadi perang argumen antar warga negara Indonesia itu sendiri yang tidak mencerminkan kedamaian hidup dalam keberagaman. Penyebab dari kejadian ini adalah penyebaran berita hoaks.  Jenderal TNI saat itu, Gatot Nurmantyo, mengatakan bahwa berita hoaks bisa timbulkan perpecahan (beritasatu.com). Ini mengisyaratkan bahwa kehancuran bangsa bukan hanya disebabkan oleh perang senjata namun juga oleh perang saudara melalui berita bohong/hoaks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hoaks berarti tidak benar; bohong (tentang berita, pesan, dan sebagainya) atau berita bohong  (https://kbbi.kemdikbud.go.id/)

Secara peribadi penulis melihat bahwa faktor penyumbang terbesar dari masifnya penyebaran berita hoaks itu sendiri adalah karena kurangnya minat masyarakat Indonesia untuk membaca. Banyak dari masyarakat Indonesia mungkin tidak menyadari bahwa tingkat kesadaran membaca masyarakat kita terbilang paling rendah dibandingkan dengan negara lain. Inilah masalah dasar yang menyebabkan akhirnya masyarakat tidak bisa memanfaatkan teknologi yang ada. Beberapa hal berikut merupakan penyebab berita hoaks mudah tersebar.

Pertama masyarakat terpancing dengan judul bacaan yang provokatif. Ketika masyarakat kita memiliki perasaan benci terhadap suatu kelompok maka dengan sangat mudah untuk mencari berita dan menyebarkannya melalui telepon genggam atau gawai masing-masing yang bisa diakses sepersekian detik tanpa membaca keseluruhan isi berita yang muncul. Kedua sulitnya membedakan antara berita fakta dan opini belaka. Terkadang penyebaran berita hoaks ini didasarkan untuk memenuhi kepuasan seseorang atau kelompok terhadap kebenciannya pada kelompok tertentu. Hal ini menyebabkan masyarakat kalap, tanpa menyaring, menyebarkan berita yang belum pasti kebenarannya. Ketiga ialah budaya membaca di kalangan masyarakat umum yang rendah membuat mereka dengan mudah menyebarkan informasi yang diterima. Tersulut dengan judul yang provokatif dan kurangnya pemahanan dalam meyaring berita pada dasarnya disebabkan oleh minat baca yang kurang bergairah. Firman Venayaksa, ketua forum taman baca masyarakat, mengatakan bahwa minat baca orang Indonesia rendah karena buku tidak ada di sekeliling kita semua (Mata Najwa, edisi 7 Juni 2017). Bisa ditafsirkan bahwa pada prinsipnya kita kekurangan produksi buku untuk dibaca. Ketika minat baca secara konkret menggunakan buku/majalah dan media cetak lainnya kurang maka akan berdampak pula pada kurangnya keinginan masyarakat untuk membaca keseluruhan informasi yang muncul secara digital.

Namun hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak penyebaran berita hoaks tersebut ialah meningkatkan kesadaran membaca masayarakat kita. Tugas pemerintah hingga saat ini sudah dikatakan maksimal untuk menggerakan minat baca masyarakat Indonesia salah satunya melalui gerakan literasi yang digagas sejak lama namun baru dilakukan implementasinya beberapa tahun belakangan. Lalu kita tidak bisa menutup mata untuk menyerahkan beban secara keseluruhan kepada pemerintah. Beberapa sektor swasta bisa diajak untuk melakukan perbaikan minat baca. Di Jepang misalkan, pemiliki toko buku membuka layanan membaca gratis atau dikenal dengan budaya tachiyomi Artinya masyarakat dibebaskan untuk membaca buku yang disukai walaupun harus membuka sampul buku tersebut. Penjaga toko percaya bahwa semakin banyak yang membaca kemungkinan membeli semakin banyak.(http://www.ikapi.org, 7 Juni 2017). Hal ini sebenarnya bisa diadopsi oleh pemiliki toko buku di berbagai tempat di Indonesia. Dengan membebaskan para pelanggan membaca buku yang dipajang di rak-rak buku akan membuat masyarakat memiliki ketertarikan untuk datang kembali membaca dan bahkan membeli. Sebab membeli buku merupakan investasi yang tak ternilai harganya. Merangkul komunitas kepemudaan untuk membantu menggalakkan gerakan literasi merupakan cara yang solutif untuk menjadi langkah yang bisa diambil. Duta Bahasa, misalnya, bisa menjadi partner untuk membantu melakukan penyebarluasan kampanye membaca kepada khalak ramai. Selain itu kita masyarakat juga harus membiasakan diri untuk mulai meningkatkan kesadaran membaca misalkan menghabiskan satu buku bacaan dalam satu bulan, atau rutin berlangganan media cetak atau digital yang memuat berita yang aktual. Selain itu biasakan untuk membaca dari berbagai sumber agar dapat melakukan perbandingan serta menyaring informasi yang diperoleh Ini bisa menjadi stimulus awal untuk meningkatkan minat baca kita guna mendapatkan informasi yang akurat sehingga seiring berjalannya waktu penyebaran berita bohong/hoaks bisa diminimalisasikan bahkan dihilangkan.

Memperbaiki kesadaran kita untuk membaca berarti memperbaiki taraf hidup kita dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Salah satu hasil positif yang diraih yaitu terciptanya masyarakat yang cerdas dalam menerima berbagai informasi yang datang. Hal ini justru akan berdampak panjang pada meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dan menciptakan keharmonisan. Sebab peningkatan kesadaran membaca ini akan mengurangi pergesekan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri salah satu penyebabnya adalah penyebaran berita hoaks. Jika buku adalah jendela dunia, maka membaca membuka cakrawala. Kita Pancasila, Kita Indonesia.

 

Muhammad Syahwalan

Duta Bahasa Provinsi Bengkulu 2015