Di sebuah huma hiduplah sang piatu bersama neneknya, karena sang piatu sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Pekerjaan sang piatu setiap hari adalah menjual ubi jalar dan ubi kayu. Setiap hari sang piatu memohon izin pada neneknya, karena ia ingin belajar sembahyang  di desa seberang, belajar sembahyang di rumah raja. Dan belajarnya harus bayar dengan uang beberapa rupiah. Tapi uang neneknya tinggal sedikit, sang piatu hanya minta satu rupiah saja untuk membayar raja mengajarinya sembahyang.

Sesampainya di rumah raja. Maka sang piatu meminta raja untuk mengajari piatu sembahyang. Sang raja menyanggupi asal sang piatu membayar. Sang piatu hanya memiliki uang satu rupiah.

Kata raja, kalau hanya satu rupiah, belajarnya hanya satu kata saja, dan sang piatu setuju.

“Hai sang piatu, ikutilah kataku, Tak mau dipaksakan sedikit, Perintah sang raja.

“Tidak mau dipaksakan sedikit.” Sang piatu mengulang kata-kata sang raja.

“Nah piatu walaupun hanya sedikit, walau hanya sepatah kata, dirikanlah sembahyang olehmu,”perintah sang raja.

Sepulang dari rumah raja, sang piatu mulai rajin melaksanakan sembahyang meskipun dengan bacaan sedikit, sang nenek sangat heran dengan bacaan yang dibaca sang piatu saat sembahyang. “Cucuku apakah hanya itu bacaannya?”tanya kan sang piatu untuk mengikuti kata-kata sang raja.

Kalimatnya adalah “Tak mau dipaksakan sedikit, mau ditahan sedikit,” kalimat sang raja itu selalu diulang-ulang sang piatu. Hinga sang piatu mendapat kalimat.”Tidak mau dipaksakan sedikit, mau ditahan sedikit, melakukan pekerjaan harus yakin, perkataan istri yang menyesatkan jangan diperhatikan dan jangan didengarkan,” bacaan itulah yang dipelajari sang piatu dari sang raja.

Setelah sang piatu merasa hapal, ia lalu pulang, sesampai di pondok, ada orang memanggil, meminta tolong untuk menguburkan anaknya yang sudah meninggal, sang piatu pada awalnya malas karena capek, namun ia ingat bacaan sembahyangnya.”Kalau tidak mau, dipaksakan sedikit.” Maka sang piatu tergerak untuk menolong. Saat itu hari mulai malam, maka paitu menyalakan obor sebagai penerang.Merekapun pergi ke tempat menguburkan anak, sesampai di kuburan ada cahaya terang, dan membuat terang disekitarnya.

“Wahai sang piatu, benda apa gerangan yang terang benderang, coba lihatlah,”ujar sang nenek.Tapi piatu terlebih dahulu menguburkan anak yang telah meninggal itu, dengan bacaan sembahyang yang hanya sepatah kata itu.

Setelah selesai menguburkan, barulah sang piatu mendekati benda yang bersinar itu, ternyata benda itu, benda itu sebesar buah kemang, dan mengeluarkan sinar, hingga di dalam rumah, sang piatu dan sang nenek tidak perlu menyalakan damar atau lampu minyak.

Keesokan harinya benda bersinar itu dibawa sang piatu ke rumah raja. Ternyata benda itu adalah intan, induk intan, maka sang raja meminta sang piatu untuk berkenan menikah dengan Beteri putri raja. Menikahlah sang Piatu dengan Beteri sang putri raja.

Di desa-desa ramai dibicarakan tentang piatu yang menikahi putri raja dan mempunyai intan yang besar, maka berbondong-bondonglah penduduk datang dengan membawa intan-intan kecil. Mereka memaksa sang Piatu dan sang raja untuk menukarkan intan besar itu dengan intan-intan kecil mereka. Akhirnya sang raja punya jalan tengah.

Intan kecil-kecil sama-sama di letakkan di lantai. Intan besar juga, kalau intan besar yang mendekati intan kecil, berarti intan besar menjadi milik warga, namun kalau intan-intan kecil yang mendekati intan besar, maka seluruh intan kecil menjadi milik Sang piatu dan sang Raja, dan Intan besar tetap menjadi milik sang piatu dan sang Raja. Maka mereka bersama-sama meletakkan intan-intan kecil di lantai, begitu pula intan besar milik sang piatu. Dan ternyata, intan-intan kecil itu secara bersamaan mendekati intan besar, dan menempel pada intan besar, maka sang piatu dan sang raja yang menang, memiliki semua intan itu. Dan warga pun pulang dengan tangan kosong, sang Piatu, Beteri dan sang raja jadi semakin kaya raya.

Tags:

Comments are closed

Pojok Bahasa & Sastra
Selanjutnya ...
Arsip
Lokasi