Sekujang merupakan tradisi masyarakat Serawai yang dilakukan setiap tahun pada malam lebaran pertama (2 syawal). Tradisi ini telah dilakukan secara turun-temurun oleh masayarakat Serawai. Tradisi yang dilakukan setiap malam lebaran pertama ini ditujukan sebagai bentuk upaya untuk mendoakan arwah jemo putus (Wibowo,2015:42). Jemo putus dimaksudkan sebagai orang yang terputus silsilah keturunannya karena disebabkan oleh berbagai hal. Menurut kepala desa Talang Benuang (Wibowo, 2014:42)  jemo putus merujuk kepada orang-orang yang tidak mendapatkan doa pada hari raya idul fitri. 

Tradisi ini pada masa dahulunya dilakukan oleh tujuh kecamatan yang ada di Seluma dan Kepahiang. Namun, kini tradisi ini mulai ditinggalkan dan hanya satu desa saja yang masih terus melestarikannya. Tradisi Sekujang  tidak terlepas dari cerita rakyat yang berkembang di lingkungan masyrakat Serawai. Cerita rakyat Sekujang mengisahkan sepasang suami istri yang miskin dan tidak memiliki rumah yang ingin merayakan Idul fitri. Singkat cerita ia berkeliling rumah warga dan meminta bahan-bahan untuk membuat kue. Karena tidak memiliki rumah, Pak Pandir membawa kue-kue tersebut ke masjid untuk didoakan (Wibowo,2019: 266 ). Cerita rakyat tersebut menjadi awal ritual Sekujang  hingga saat ini.

Pak Pandir yang diceritakan di dalam cerita tersebut dijuluki sebagai Jemo Putus. Seperti yang telah dijelaskan di awal, Jemo Putus adalah orang yang terputus silsilah keturunannya. Selain itu, dalam ritual Sekujang juga dikenal adanya Sekura. Sekura merupakan lambang arwah dari Sekujang. Pada awalnya  kostum Sekura terbuat dari ijuk untuk arwah Pak Pandir dan kerisiak (pelepah pisang kering) untuk arwah istri Pak Pandir. Seiiring dengan perkembangan zaman, Sekura pun terus bertambah untuk mewakili semua arwah yang tergolong Jemo putus

 Ritual Sekujang dilakukan oleh para Sekuro dengan cara berkeliling kampung dan meminta kue dari rumah-rumah penduduk. Para Sekuro akan menyanyiakn ratapan-ratapan sekujang perjalanan mereka. Ratapan ini berisi lima hingga tujuh bait pantun yang bergantung dengan respon tuan rumah. Berikut contoh ratapan pada ritual Sekujang.

Jang Sekujang anai-anai bawah batang

Betukup daun buluah

Anak muanai banyak datang

Ado seratus tigo puluh 

Ke paliak bukan ke lintang 

Tengah jalan ke tango raso

Mako kami sekujang

La rerayo bulan puaso

Menebang muaro santang

Tepaut timbul tenggelam

Kalau kami lambat datang

Dusun jauah padam bekelam

(Wibowo, 2015: 43)             Ratapan di atas merupakan ratapan pembuka dari ritual Sekujang  ketika menghampiri rumah-rumah penduduk. Ratapan selanjutnya yang akan dinyanyikan oleh Sekuro akan berbeda. Perbedaan itu berdasarkan respon dari penduduk yang rumahnya diampiri oleh para Sekuro.

Tags:

Comments are closed

Pojok Bahasa & Sastra
Selanjutnya ...
Arsip
Lokasi